Barangkali orang tak percaya melihat sosok Galuh Sukmara Soejanto, S Psi. Secara fisik, dirinya tidak memperlihatkan kekurangan. Bahkan sekilas, dirinya terlihat normal biasa.
Namun, siapa sangka jika Galuh adalah penyandang cacat difabel tuna rungu. Orang mungkin tak yakin, jika dirinya akhirnya lulus dari Fakultas psikologi UGM.
“Sungguh suatu perjuangan panjang dan keras,†akunya.
Betapa tidak, dirinya mengawali kuliah di Fakultas Psikologi UGM tahun 1997 penuh rasa takut dan frustrasi. Fakultas Psikologi UGM saat itu, mensyaratkan tidak boleh cacat mata, cacat telinga, atau memakai alat bantu dengar.
“Bagaimana mungkin saya melepas alat pendengaran. Bagaimana saya berkomunikasi dengan dokter saat tes kesehatan,†ujarnya mengenang saat-saat pertama memasuki kuliah di UGM.
Lantas kenapa bisa lolos menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi UGM? Saat itu, kata dia, dirinya menebak-nebak apa yang ditanyakan dokter. Dengan jawaban-jawaban yang dia berikan, Galuh dinyatakan lolos kesehatan dan resmi diterima sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi UGM.
Setelah menjadi mahasiswa, perempuan kelahiran Banjarnegara 9 Juni 1978 ini, merasa banyak mendapat tekanan dan sikap-sikap tidak menerima kehadiran deaf. Karenanya, antara tahun 1997 s.d 2001 dirinya merasakan frustrasi yang luar biasa.
“Saya masuk tahun 1997, saya rasakan beberapa mahasiswa normal seperti berada disuatu planet. Dimana tidak ada orang memahami bahasa saya. Saya berusaha minta tolong pada Dekan, bolehkah membawa pendamping? Tapi kata Pak Dekan tidak boleh, bahwa itu meyalahi fakultas,†kenang Galuh.
Hingga, suatu ketika dirinya mendapati temannya bisa memahami bahasa isyarat. Sejak saat itulah, Galuh menempatkan temannya duduk peling depan untuk menterjemahkan dengan bahasa isyarat.
“Bagiku dia seperti hero. Saya paksakan dia duduk didepan. Awalnya semua dosen dan mahasiswa merasa tidak nyaman dengan suasana seperti itu. Lantas saya bilang terus terang, saya tidak paham dengan apa yang kalian bicarakan,†ungkapnya.
Setelah itu, Galuh pun bersikap membuka diri untuk berkomunikasi dengan siapa saja. Tidak perlu lagi menuntut fasilitas-fasilitas, namun terpenting terbuka dan saling berkomunikasi.
“Komunikasi adalah kunci. Saya lihat bibir mereka saat berbicara, dari situ saya tahu apa yang dia bicarakan,†tambahnya.
Meski deaf, pendidikan formal Galuh ditempuh di sekolah biasa. Bahkan saat menjadi siswa SMA Negeri I Banjarnegara nilai-nilainya selalu baik. Sehingga, dirinya semakin termotivasi meraih pendidikan lebih tinggi.
Kini, setelah lulus Galuh merasa bangga. Meski membutuhkan waktu 9 tahun untuk menjadi sarjana psikologi, dirinya banyak belajar menjadi tangguh dan tidak menyerah. Selain itu, dirinya telah membuka jalan bagi rekan-rekan deaf lain yang akan kuliah di UGM.
“Mungkin teman-teman tuna rungu akan tersenyum, Galuh telah membuka pintu UGM,†ungkapnya penuh bangga.
Kendati belum bekerja, Galuh tidak mau berpangku tangan. Bersama teman teman volunteer dari Perancis, Inggris dan Jepang mendirikan lembaga pendidikan tepat bagi penderita tuna rungu di Indonesia.
“Namanya kelompok Matahariku di Berbah Sleman, saya sebagai presidennya. Saya mengajak mereka para penyandang tuna rungu dari luar negeri untuk bekerja di Indonesia, yaitu memberikan contoh pendidikan yang tepat bagi penyandang tuna rungu, baik dan tanpa menghilangkan ciri bahasa isyarat mereka,†tandas Galuh. (Humas UGM)