Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Ir. A.M. Hendropriyono, S.H., S.E., M.B.A., M.A., akhirnya berhasil meraih gelar doktor dari UGM dengan predikat cumlaude. Hendropriyono berhasil mempertahankan desertasinya yang berjudul ‘Terorisme dalam Filsafat Analitika; Relevansinya dengan Ketahanan Nasional’ di Sekolah Pascasarjana UGM, Sabtu (25/7).
“Dengan ini, tim penguji memutuskan Saudara Hendropriyono berhasil memperoleh gelar doktor dengan predikat cumlaude,” kata Ketua Tim Penguji, Dr. Mukhtasar. Tim penguji terdiri atas Prof. Dr. Syafii Maarif, Dr. Mukhtasar, Prof. Dr. Koento Wibisono, Prof. Dr. Syamsul Hadi, dan Prof. R. Soejadi, S.H. Bertindak selaku promotor dan ko-promotor adalah Prof. Dr. Kaelan, M.S., Prof. Dr Lasiyo, M.A., dan Prof. Dr. Djoko Suryo. Dengan gelar yang diraihnya, Hendropriyono menjadi doktor lulusan UGM yang ke-1089 dan yang ke-51 dari Fakultas Filsafat.
Prof. Kaelan dalam penyampaian pesan dan kesan mengatakan bahwa Hendropriyono merupakan mantan pejabat yang dapat menempatkan diri sebagai murid. Ia menyebutkan Hendropriyono merupakan promovenduz yang ‘haus ilmu’ sehingga tidak heran jika ia tidak pernah absen mengikuti kuliah.
“Dalam beberapa hari terakhir sebelum ujian, waktu konsultasi hingga jam dua malam, saya sempat berpesan agar tetap menjaga kesehatan agar tidak terserang flu saat ujian,” katanya.
Dalam proses pengerjaan penelitiannya, kata Kaelan, penulisan disertasi promovenduz sangat mendukung dengan pengangkatan tema terorisme. Pada saat pengerjaan awal penelitian, saat itu terjadi peritiwa bom Bali II. Kemudian, saat terakhir pengerjaan penelitian justru muncul bom Mega Kuningan. “Saya tidak tahu ini pertanda apa,” ujar Kaelan.
Meski demikian, Kaelan berharap agar dengan predikat doktor ini Hendropriyono dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi Negara, khususnya dalam meningkatkan fungsi intelijen negara. Terlebih lagi saat ini Indonesia masih menjadi sasaran empuk teroris, terbukti dengan terjadinya bom Mega Kuningan beberapa waktu lalu.
Dalam kesempatan yang diberikan kepada promovenduz untuk menyampaikan pesan dan kesannya di podium, Hendro mengaku sangat bangga sebagai doktor UGM yang meneliti tentang filsafat Pancasila. Menurutnya, predikat doktor tentang Pancasila pertama kali diserahkan kepada Bung Karno dalam bentuk gelar honoris causa.
“Jika Bung karno sebagai doktor pertama yang diberikan atas pemikirannya tentang Pancasila, maka saya doktor ke-51 yang meneliti tentang Pancasila,” katanya bangga.
Hendropriyono juga mengaku kaget dengan predikat cumlaude yang diraihnya. Sebelumnya, ia hanya berpikir untuk dapat lulus dengan nilai secukupnya. “Saya tidak menyangka mendapat predikat cumlaude. Saya hanya bisa berpikir lulus sesuai passing grade saja sudah cukup. Jadi, ini suatu anugerah,” tutur Hendro.
Dalam disertasinya, Hendropriyono menyebutkan bahwa terorisme adalah suatu fenomena sosial yang sulit untuk dimengerti, bahkan oleh para teroris sendiri. Tanpa pendidikan yang memadai pun, sesorang dapat melakukan aksi terorisme yang menggetarkan dunia dan berimplikasi sangat luas. Menurutnya, taktik dan teknik teroris terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan strateginya berkembang seiring dengan keyakinan ontologis atas ideologi atau filsafat yang menjadi motifnya.
Selanjutnya disampaikan bahwa terorisme menggunakan cara-cara, ungkapan-ungkapan, dan bahasa sendiri dalam perjuangan mewujudkan tujuannya. Lebih jauh, Hendro menjelaskan bahwa para teroris menggunakan pembenaran epistemologis sendiri dan menafsirkan ideologi-ideologi serta ungkapan kebenaran dengan cara melakukan manipulasi makna.
“Manipulasi ungkapan bahasa kebenaran tersebut kerap kali bersumber dari kaidah-kaidah agama, yang ditafsirkan dan dimanipulasikan dengan ungkapan bahasa. Hal tersebut dijadikan dasar pembenaran bagi segala tindakannya yang revolusioner dan dramatis,” terangnya.
Dari penelitian yang dilakukan selama tiga tahun, Hendro lebih berfokus tentang terorisme yang dikaji dari filsafat analitika bahasa, yakni bahasa terorisme memiliki kemiripan keluarga (family ressemblance), sebagai analogi di dalam satu bentuk tata permainan bahasa yang sama.
“Bahasa yang digunakan dalam terorisme ternyata terbelah atas dua tata permainan bahasa, yaitu mengancam dan berdoa yang dipergunakan dengan sekaligus,” katanya.
Disebutkan Hendro, tata permainan bahasa yang terbelah dalam terorisme menunjukkan bahwa teroris mempunyai kepribadian yang terbelah (split personality). Para pelaku terorisme juga mengalami kegalatan kategori, yakni ketidakmampuan untuk membedakan pengetahuan sehingga mengakibatkan subjek dan objek terorisme menjadi tak terbatas.
“Aktif atau pasifnya kegiatan terorisme yang timbul tenggelam, tergantung kepada kondusif atau tidaknya lingkungan masyarakat yang menjadi habitat hidupnya. Fundamentalis atau aliran keras ‘wahabisme’ merupakan lingkungan yang paling kondusif bagi terorisme. Aliran tersebut sudah mulai menginfiltrasi sebagian pikiran umat Islam Indonesia,” jelasnya.
Tentang relevansi kajian terorisme dengan ketahanan nasional, Hendro lebih menekankan pada upaya membangkitkan kesadaran akan perlunya usaha revitalisasi filsafat Pancasila, yang mencangkup tataran nilai dasar, nilai instrumen, dan nilai praksis. Khusus pada tataran praksis, diperlukan penyusunan setiap program yang akomodatif terhadap berbagai permasalahan masyarakat.
Hendropriyono adalah seorang pensiunan jenderal yang memiliki nama lengkap Abdullah Mahmud Hendropriyono, lahir di Yogyakarta, 7 Mei 1945. Sejak 1948, ia menetap di Jakarta. Pendidikan umum yang ditempuh berturut-turut SR Muhammadiyah Jakarta, SMA Negeri Jakarta, Sarjana Administrasi Negara STIA LAN RI Jakarta (lulus 1985), Sarjana Hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Militer, Sarjana Ekonomi dari Universitas Terbuka (lulus 1995), Pascasarjana Administrasi Niaga University of the City of Manila Filipina, dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer.
Tampak beberapa undangan yang hadir dalam acara tersebut, Mantan Gubernur DKI, Sutiyoso, Gubernur Gorontalo, Dr. Fadel Muhammad, Ketua DPD RI, Ginandjar Kartasasmita, Ekonom Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Politikus Permadi, Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, mantan Komandan Jamaah Islamiah, Nasir Abbas, mantan Ketua DPR RI, Ir. Akbar Tanjung, Pemred TV One, Karni Ilyas, dan Dirut Trans Corporation, Chairul Tanjung. (Humas UGM/Gusti Grehenson)