International Diabetes Federation (IDF) melaporakan pada tahun 2020 Indonesia menempati posisi ke-7 sebagai negara dengan pengidap diabetes tertinggi. Hal ini sejalan dengan laporan BPJS Kesehatan bahwa beban pengeluaran untuk penyakit tidak menular sudah semakin besar.
Pada 2017, BPJS Kesehatan telah melindungi 10,8 Juta orang atau 5,7 persen peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan membayari layanan penyakit katastropik ini. Dan total dana hingga Rp 14,6 triliun atau 21,8 persen dari total anggaran pelayanan kesehatan. Apabila dibandingkan pada tahun 2016, penyakit diabetes telah menghabiskan dana Rp7,7 triliun.
Pemerintah Indonesia telah melaksanakan berbagai intervensi untuk mengontrol laju kenaikan diabetes tersebut, seperti memberikan anjuran dalam batasan konsumsi gula 54-gram sehari. Intervensi tersebut menandakan bahwa pemerintah Indonesia sudah sadar bahwa tingginya konsumsi minuman berpemanis memengaruhi kesehatan termasuk tingginya penyakit diabetes. Namun, intervensi terhadap tingginya penjualan minuman berpemanis di sektor industri masih belum dilakukan.
Melihat problematika ini, Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan (PKMK) FKKMK UGM mengeluarkan dokumen kebijakan guna mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh konsumsi minuman berpemanis. Salah satu opsi yang disajikan di dokumen kebijakan tersebut ialah pilihan untuk menerapkan kebijakan fiskal untuk mendorong perubahan perilaku dalam mengonsumsi produk yang lebih sehat. Sesuai rekomendasi dari WHO, dokumen ini merupakan rekomendasi untuk pemerintah agar menetapkan kebijakan fiskal untuk menjaga pola konsumsi minuman berpemanis di masyarakat.
Kebijakan fiskal tersebut dapat berupa penerapan pajak untuk minuman berpemanis pada takaran gula tertentu dan nilai pajak tersebut dapat bersifat progresif. Negara Asia Tenggara seperti Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura telah menerapkan pajak tersebut dengan berbagai variasi. Indonesia sebenarnya telah mencoba untuk menerapkan kebijakan ini pada tahun 2011 dan 2014. Namun, upaya tersebut gagal karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari semua kementerian.
Pada tahun 2021 ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, kembali mengeluarkan wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis di hadapan Komisi XI DPR RI. Kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk mengurangi tingginya konsumsi minuman berpemanis masyarakat Indonesia yang telah mencapai 20,23 liter per orang dan menempati posisi ketiga di Asia Tenggara.
Menurut Relmbuss Fanda, Peneliti PKMK UGM yang turut menyusun dokumen kebijakan tadi, WHO melaporkan bahwa pengenaan pajak atas minuman berpemanis merupakan intervensi yang efektif untuk mengurangi konsumsi gula. Bukti menunjukkan bahwa pajak minuman berpemanis yang menaikkan harga sebesar 20 persen dapat menyebabkan penurunan konsumsi sekitar 20 persen sehingga mencegah obesitas dan diabetes.
Fanda juga menyebut sebuah studi lain turut menunjukkan bahwa penerapan kebijakan fiskal menghasilkan manfaat kesehatan yang substansial dan menghemat biaya perawatan kesehatan. “Biaya perawatan kesehatan bahkan bisa lebih dihemat lebih dari 24 kali lipat dari biaya pelaksanaan pajak minuman manis,” ujarnya.
Salah satu negara yang sudah mengenakan pajak pada minuman berpemanis adalah Inggris. Fanda mengungkapkan kebijakan ini disambut baik oleh perusahaan minuman berpemanis di negara tersebut. Ia menyampaikan bahwa mereka berkompetisi untuk menawarkan produk minuman rendah gula. Perusahaan-perusahaan tersebut tetap menjaga pasar mereka dengan melakukan reformulasi produk minumannya. Akibatnya, industri minuman ringan di Inggris telah memangkas tingkat gula yang ditambahkan ke produk mereka hingga setengahnya.
“Penerapan kebijakan memiliki tujuan utama untuk menghambat masyarakat untuk mengonsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Rencana ini seyogianya perlu didukung oleh berbagai pihak, khususnya dari masyarakat dan para pelaku industri,” pungkasnya.
Penulis: Hakam