Pusat Studi Wanita UGM menggelar Webinar Series : Online Grooming pada Minggu (7/3) siang. Webinar ini masih dalam agenda Dies Natalis ke-30 PSW. Topik tersebut diangkat karena sesuai dengan tema besar dies natalis PSW kali ini yaitu “Kekerasan Gender Berbabis Online (KBGO)”.
Siti Aminah Tardi, Kasubdiv Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, memaparkan bahwa KBGO ini merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbilang baru. Pihaknya baru diperkenalkan istilah tersebut pada tahun 2017 oleh Komite CEDAW melalui rekomendasi umum no.5 tahun 2017 dengan term ‘Kekerasan Gender Berbasis Siber (KBGS)’.
Perempuan yang akrab disapa Ami ini menjelaskan jumlah pengaduan terkait kekerasan model tersebut tercatat baru 16 kasus kala itu. Kemudian, pada tahun 2018, Komnas Perempuan memperkenalkannya ke lembaga layanan dan masyarakat pada umumnya dengan penelitian serta kelas-kelas.
Hasilnya, pada tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah aduan terkait KBGS/KBGO ini, yakni tercatat 281 kasus. Pada tahun ini pula akhirnya tercatat kasus KBGS/KBGO yang ditangani oleh lembaga layanan yakni sebanyak 35 kasus.
Baru pada tahun 2020, Ami menerangkan bahwa pengaduan KGBS/KGBO secara keseluruhan, baik kepada Komnas Perempuan maupun kepada lembaga layanan meningkat secara signifikan. Sebanyak 942 kasus diadukan kepada Komnas Perempuan dan dari lembaga layanan sebanyak 510 kasus.
Ami mengungkapkan bahwa dalam satu kasus ini bisa terjadi beberapa bentuk KGBS/KGBO. Kasus-kasus yang tergolong sebagai KGBS/KGBO seperti stalking, sexting, hacking, malicious distribution, penghinaan, online deflamation, cloning (pemalsuan identitas, non-konsesual pornografi (revenge porn), dan online grooming.
Dua kasus dengan pengaduan terbanyak adalah malicious distribution dan online grooming. Menurut Ami menjadi banyak karena korban baru memahami bahwa perilaku tersebut merupakan kekerasan terhadap mereka dan kemudian baru melaporkan.
Terkhusus untuk online grooming, Dr. Budi Wahyuni, M.M., M.A., Mantan Wakil Ketua Komnas Perempuan Periode 2015-2019, menjelaskan bahwa perilaku ini bertujuan untuk meyakinkan korban agar segera mengirimkan gambar atribut seksual berupa foto atau video melalui pesan pribadi di medsos.
Budi mengungkapkan dari pengalamannya, seperti kasus kekerasan pada umumnya, pelaku bisa jadi orang yang dikenal maupun tidak dikenalnya. Orang yang tidak dikenal ini bisa juga menyamar dengan membuat akun baru dengan foto profil orang yang dikenal oleh korban. Hal itu bisa juga benar-benar orang tidak dikenal korban yang berupaya mendekati korban.
“Mereka memanipulasi korban melalui ikatan emosi. Awalnya memang dimulai dari hanya saling sapa, kemudian berlanjut dengan bertukar informasi pribadi sampai yang sangat pribadi. Korban dibuat tersanjung dengan perhatian dan intensitas dari pelaku. Hal yang menarik interaksi ini membuat korban berimajinasi dan melayang-melayang sehingga merasa tergantung kepada pelaku,” paparnya.
Budi melanjutkan tahap selanjutnya setelah pelaku berhasil memanipulasi korban, mereka mulai melancarkan aksinya dengan mengawali dengan perbincangan seputar seksualitas. Untuk memperlancar aksinya, mereka menggunakan kalimat-kalimat yang berbau tantangan agar korban merasa insecure dan terpicu untuk memenuhi permintaan mereka.
Menurut Budi, online grooming ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, karena korban minim informasi tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi. Kedua, korban malah cenderung percaya dengan mitos-mitos tentang hal-hal tersebut. Ketiga, konstruksi gender yang timpang membuat perempuan sebagai objek seksual. Keempat, relasi kuasa membuat perempuan sulit keluar dari masalahnya. Terakhir, perempuan korban reviktimisasi dikonstruksikan bahwa dirinya yang salah karena tidak mampu menjaga diri dan berakhir pada mereka tidak berani melapor apalagi jika diminta bukti-bukti.
Terakhir, Budi menekankan bahwa kasus ini bisa terjadi kepada perempuan siapa saja. Seksualitas itu bukan sebatas fisik tampak luar, dosa tidak berdosa, atau stres tidak stres. Namun, juga bagaimana secara sosial terbebas dari stigma. Oleh karenanya, ia menegaskan pentingnya pendidikan seksualitas dan organ reproduksi yang baik dan benar.
“Pendidikan seksual dan organ reproduksi itu yang mencerahkan dan memberdayakan, bukan yang membuat takut. Hal itu karena atribut seksual dan organ reproduksi melekat ditubuhnya sejak dalam kandungan dan berproses sepanjang hidup hingga kematian menjemputnya. Perempuan butuh otonomi atas tubuhnya yang merupakan bagian dari hak asasi perempuan atau hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Pendidikan semacam ini adalah hak bagi setiap warga negara,” pungkasnya.
Penulis: Hakam