BULAKSUMUR – Universitas Gadjah Mada (UGM) kembali merintis program sekolah hijau untuk SMA Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) se-DIY. Kegiatan pelatihan diikuti oleh 30 orang guru perwakilan dari SMA-SMA RSBI, meliputi SMAN 1 Yogyakarta, SMAN 2 Yogyakarta, SMAN 3 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta, SMA Muhammadiyah 2, SMAN 1 Bantul, SMAN 1 Kasihan, SMAN 1 Wonosari, SMAN 2 Wates, SMAN 1 Kalasan, SMAN 1 Sleman, SMA BOPKRI I Yogyakarta, SMA Stella Duce I Yogyakarta, dan SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Sebelumnya, kegiatan serupa juga telah dilaksanakan oleh UGM untuk SMK-SMK RSBI.
Penggagas program sekolah hijau (green school), Prof. Dr. Ir. Widyastuti, M.Sc., menyampaikan pelatihan sekolah hijau untuk sekolah-sekolah menengah atas di DIY adalah dalam rangka memberikan penguatan nilai-nilai lingkungan hidup kepada para siswa melalui proses pembelajaran. Menurutnya, pengelolaan lingkungan sekolah hijau dapat dirancang sebagai wahana untuk menumbuhkan dan mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, perilaku, dan wawasan serta kepedulian lingkungan hidup para siswa. "Hal inilah yang mendorong model sekolah hijau (green school)," kata Widyastuti dalam sambutan acara pembukaan pelatihan di Ruang Sidang Utama LPPM, Kantor Pusat UGM, Rabu (1/12).
Ia menambahkan keberhasilan pengembangan sekolah hijau sangat ditentukan oleh partisipasi komunitas sekolah, terutama para siswa dan guru. "Siswa adalah bagian penting dalam setiap proses sekolah hijau, baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler," ujarnya.
Dalam pelatihan selama tiga hari, para guru akan diberikan pengayaan materi tentang kondisi kekinian tata lingkungan Indonesia dan dunia, desain sekolah hijau, dan inovasi pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan hidup. Selain itu, pelatihan tentang teknik budidaya pohon, teknik pendugaan serapan karbon, biodiversitas, dan assessment sekolah hijau.
Koordinator pelaksana, Priyono Suryanto, S.Hut., M.P., mengatakan dengan adanya sekolah hijau ini diharapkan nantinya di setiap sekolah dapat diukur tingkat kemampuan lingkungan sekolah dalam menyerap gas karbondioksida. "Setidaknya bisa mengetahui serapan karbon masing-masing sekolah," ujarnya.
Pakar perhutanan kota dari Fakultas Kehutanan UGM, Mukhlison, S.Hut., menuturkan program sekolah hijau sangat mendukung upaya program mitigasi perubahan iklim global melalui penanaman pohon di luar area hutan. Pembangunan kehutanan tidak cukup melalui kegiatan reboisasi dan penanaman pohon di areal hutan, tetapi juga di luar hutan. "Salah satunya di lingkungan sekolah," tambahnya.
Keberhasilan program sekolah hijau, menurut Mukhlison, secara fisik ditandai dengan terbentuknya sekolah ramah lingkungan, gerakan penanaman pohon, pengelolaan sampah, dan berbagai fasilitas sekolah yang peduli terhadap lingkungan. Sementara itu secara nonfisik ditandai dengan adanya kurikulum inovasi pembelajaran yang menyampaikan pesan-pesan kesadaran peduli lingkungan hidup.
Drs. Budi Setiawan, Guru Biologi SMAN 3 Yogyakarta yang menjadi peserta pelatihan ini, mengakui tidak mudah membiasakan para siswa untuk peduli terhadap kondisi lingkungan sekolahnya, terutama bagi para siswa yang selama ini tinggal dan hidup di areal perkotaan. "Mengenal dan tahu bentuk tanaman pisang saja mereka tidak bisa," kata Budi mencontohkan. Kendati begitu, mengubah perilaku siswa untuk peduli terhadap lingkungannya merupakan tugas para guru di sekolah.
Ia menyebutkan di SMAN 3 setidaknya tiap hari dihasilkan sekitar 1 kuintal sampah. Namun, dari sampah sebanyak itu tidak semuanya dibuang. Sampah sudah diolah untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Dibantu enam karyawan, sampah-sampah hasil olahan itu ada yang dijadikan pupuk dan barang bermanfaat lainnya. "Kegiatan pengolahan sampah ini kadang sering digunakan sebagai sumber karya para siswa untuk ikut perlombaan, banyak yang menang," tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)