Surat wasiat (last will and testament) di Amerika merupakan dokumen yang cukup unik. Di Amerika bagian selatan, surat wasiat bukan hanya sekadar dokumen legal mengenai pembagian warisan, tetapi memiliki signifikansi yang lebih luas. “Surat wasiat tidak hanya sekadar dokumen legal. Namun, bisa dijadikan sebagai sarana untuk mengekspresikan kehendak pribadi secara keseluruhan dan sekaligus menjadikannya sumber informasi tentang dinamika aspek budaya tertentu dalam kehidupan mereka,” papar Dra. Tatit Hariyanti, M.Hum.
Dikatakan oleh staf pengajar Universitas Teknologi Yogyakarta ini, surat wasiat di Amerika bagian selatan memiliki signifikansi yang berhubungan dengan kepentingan pribadi, keluarga, dan kehidupan sosial budaya bagi individu pembuat surat wasiat. Surat wasiat merupakan bangunan simbolis yang secara individu merupakan perwujudan ekspresi diri pembuatnya tentang kebebasan individual, pesan, harapan, dan nilai yang ingin ditanamkan pada keluarganya. “Bagi komunitas kulit putih selatan, signifikansi surat wasiat tersebut selalu didasari oleh prinsip kesakralan harta milik pribadi dan kehormatan diri,” jelasnya saat ujian terbuka promosi doktor pada Program Studi Pengkajian Amerika, Selasa (27/4), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Menurut wanita kelahiran Tegal, 30 Maret 1960 ini, surat wasiat di wilayah Amerika bagian selatan digunakan sebagai pelestari nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai religius. Melalui pemberian bersyarat, mereka menanamkan nilai tanggung jawab untuk menjaga keluarga dan memiliki keturunan serta nilai penghargaan atas jasa orang lain. Melalui pemberian kitab suci, instruksi pemakaman secara Kristiani, dan keinginan untuk meninggalkan dunia tanpa dibebani dengan urusan duniawi, orang Amerika bagian selatan berharap, baik secara implisit maupun eksplisit, untuk menjaga dan menanamkan nilai-nilai religius pada keturunannya.
Lebih lanjut dikatakan Tatit, adanya surat wasiat bagi orang selatan akan menghindarkan campur tangan pemerintah dalam kaitannya dengan masalah peraturan intestacy, terutama dalam cara pembagian warisan dan penunjukan pelaksana. Ditambahkannya bahwa secara kolektif surat wasiat orang selatan menunjukkan dinamika nilai properti, gender, dan rasisme. Perubahan dari budaya agraris menuju industri membawa dampak pada pola pemikiran sebagian orang selatan atas nilai properti tertentu. Rumah pusaka yang semula memiliki nilai pemersatu keluarga, status, dan kontrol mengalami perubahan menjadi cagar budaya yang bernilai historis dan lahan bisnis bernilai ekonomis. Selain itu, budak yang semula dianggap sebagai properti yang bernilai ekonomis dan honor juga berakhir, bersamaan dengan hapusnya perbudakan.
Disebutkan pula oleh istri Prof. Dr. Sujito, S.H. ini dalam disertasinya yang berjudul “Surat Wasiat dalam Budaya Masyarakat Kulit Putih Amerika Serikat Bagian Selatan”, dalam surat wasiat orang selatan menunjukkan terjadinya ketidaksetaraan gender hingga akhir abad kedua puluh. Maskulinitas dan kekuasaan patriarki kaum laki-laki selatan lebih kuat dibandingkan dengan hukum yang ditetapkan pemerintah. Kesetaraan gender di selatan mengalami pasang surut sesuai dengan kehendak kaum lelaki melalui pengaturan hak atas properti.
Sejak era Old South pada tahun 1865, surat wasiat selatan telah menunjukkan pandangan dan tindakan rasial. Orang kulit hitam dipandang sebagai orang bodoh dan hanya pantas menjadi budak rendahan sehingga tidak pantas mendapatkan warisan. Namun, ketika sistem perbudakan hancur dan kedudukan orang kulit hitam menjadi bebas, penolakan mereka lebih bertumpu pada provokasi garis keras pendukung perbudakan yang mencitrakan orang kulit hitam yang bebas sebagai orang tidak bermoral dan berbahaya secara seksual. “Mereka berargumen bahwa pemberian warisan terjadi karena kebejatan mereka yang menggunakan daya tarik seksual untuk mempengaruhi pembuat wasiat. Dengan begitu, penolakan keluarga kulit putih terhadap keinginan pembuat wasiat untuk memberikan warisan pada orang kulit hitam berkembang sesuai dengan kedudukan dan citra mereka di mata orang kulit putih,” urai doktor ke-1.198 UGM, yang dalam ujian tersebut berhasil meraih predikat cum laude. (Humas UGM/Ika)