Yohanes Djarot Purbadi, M.T., staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta, mengatakan arsitektur permukiman suku Dawan, Desa Kenbaun, Nusa Tenggara, mengandung unsur intangible yang unik. Keberadaan Tuhan (Uis Neno) dan nenek moyang (Bei-nai) sangat dihormati. Hal itu dapat dilihat pada tata spasial arsitektur permukiman Kaenbaun. “Keunikan ini lahir dari jantung budaya masyarakat Kaenbaun yang menyatukan unsur kepercayaan lokal dengan agama Katolik sehingga keberadaan rumah adat suku, gereja Katolik, dan batu suci menjadi titik spiritual penting pada arsitektur permukiman Kaenbaun,” jelasnya.
Yohanes menuturkan tata spasial arsitektur permukiman Kaenbaun didasarkan pada tata suku yang dideklarasikan oleh generasi awal, yaitu tentang aturan hubungan antara kelompok suku laki-laki (lian mone) dan perempuan (lian feto). Tata suku tersebut telah menjadi landasan sakral dan abadi dalam kehidupan suku Dawan dan berkembang menjadi pedoman adat lokal dalam kognisi serta memandu perilaku spasial masyarakat Kaenbaun. “Implikasinya, kognisi tentang tata suku dan berbagai pedoman adat yang diturunkan mendasari tata spasial arsitektur permukiman Kaenbaun," terangnya dalam ujian terbuka promosi doktor yang dilaksanakan di Grha Sabha Pramana UGM, Kamis (8/4).
Tata spasial arsitektur permukiman suku Dawan di Kaenbaun dilandasi oleh empat nilai lokal yang khas, yakni nilai etno-spiritual, spiritual-kultural, kultural-ekologis, dan etno-ekologis. Keempat nilai tersebut hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Kenbaun. Nilai-nilai itu diwarnai dan mewarnai budaya masyarakat Kaenbaun yang bersumber pada eksistensi faotkana (batu suci), oekana (mata air suci), umesuku (rumah adat), dan ajaran gereja Katolik.
Ditambahkan Yohanes, tata suku di Kaenbaun juga mengatur hubungan struktural semua suku, khususnya hubungan antarsuku laki-laki. Dalam kognisi masyarakat Kaenbaun, hubungan antarsuku merupakan hubungan persaudaraan, tetapi ditata secara hierarkial. Implikasinya, lanjut Yohanes, suku Raja (basan) terletak di tengah lingkaran karena titik tengah merupakan titik penting dan ditopang oleh empat suku lain, yaitu Timo, Taus, Foni, dan Nel, di empat titik penjuru mata angin.
Beberapa implikasi yang terwujud pada tata spasial permukiman Kenbaun, antara lain, tatanan rumah adat di pusat Desa Kaenbaun, keberadaan batu suci suku-suku di Kaenbaun, adanya pola keruangan depan-tengah-belakang, adanya persepsi spasial desa tua dan desa muda, desa lama dan desa bar, desa luar dan desa dalam. Di samping itu, keberadaan area Taksoen yang menjadi lapangan penerima di dekat gerbang desa, penghormatan pemimpin desa yang makamnya di area timur desa, dan adanya “pintu dua dunia” yang menandai relasi alam arwah dan alam manusia.
Diungkapkan oleh pria kelahiran Yogyakarta, 16 Juni 1957 ini, dari hasil penelitiannya yang berjudul “Tata Suku dan Tata Spasial pada Arsitektur Permukiman Suku Dawan di Desa Kaenbaun di Pulau Timor”, terbukti bahwa teori tata spasial tersebut ditopang oleh empat konsep spesifik, yakni konsep persaudaraan etnis, kemenyatuan nenek moyang dan gereja, konsep keragaman kultur dalam kesatuan, dan konsep menyatu dengan alam. “Keempat konsep itu berakar dalam satu konsep penting tentang kehidupan, yaitu bahwa hidup ideal bagi orang Kaenbaun adalah menyatu dengan Tuhan, nenek moyang, sesama saudara, dan alam semesta. (Humas UGM/Ika)