Protokol Kyoto merupakan suatu instrumen hukum internasional yang dibuat untuk mengatur negara-negara maju agar mereduksi tingkat emisi karbon yang berkontribusi terhadap pemanasan global. Namun, dalam kenyataannya Protokol Kyoto tidak berjalan secara efektif. Protokol yang seharusnya berperan dalam mengelola persoalan lingkungan ternyata tidak memiliki pengaruh dalam mengendalikan berbagai bencana akibat pemanasan global dan perubahan iklim.
“Fenomena ini merupakan kegagalan dalam rezim internasional Protokol Kyoto. Amerika Serikat yang memiliki kontribusi besar atas penghasil karbon dioksida tidak bersedia meratifikasi protokol tersebut. Hal ini menjadikan perjalanan Protokol Kyoto pincang dan mandul,” kata Fatkurrohman, S.I.P., M.Si., staf pengajar Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol UGM, Senin (29/3), di Fisipol UGM. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam acara bedah buku yang digelar oleh Perpustakaan Fisipol UGM bekerja sama dengan Komahi UGM.
Diuraikan Fatkurrohman saat launching buku karyanya yang berjudul Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan bahwa kepentingan ekonomi dan politiklah yang menjadi dasar bagi Amerika Serikat untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto. Hal ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat ditopang oleh dunia transportasi. Amerika Serikat menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto karena khawatir akan menggangu stabilitas ekonomi negara.
Fakta ini harus menjadi pelajaran penting bagi semua negara untuk melakukan kerja sama dalam upaya menyukseskan Protokol Kyoto. “Saat negara bisa berperan baik dalam menyelesaikan berbagai persoalan akibat pemanasan global, setidak-tidaknya negara tersebut telah menyiapkan manfaat bagi generasi penerus untuk kehidupan yang lebih baik,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)