Staf pengajar Fakultas Hukum UGM, Dr. Sigit Riyanto, S.H., L.L.M., mengatakan penegakan hukum lingkungan masih harus diperjuangkan. Dari berbagai kasus lingkungan, penyelesaiannya berujung pada lingkungan yang dikorbankan. Minimnya pemahaman konseptual tentang lingkungan mengakibatkan masalah hukum lingkungan menjadi subordinasi dari masalah-masalah politik dan ekonomi.
"Hukum lingkungan belum dianggap masalah penting dan tidak menjadi prioritas utama untuk pilihan kebijakan," ujarnya di Fakultas Hukum UGM, Selasa (23/3), saat berlangsung sesi diskusi panel "Efektivitas Hukum Lingkungan di Indonesia".
Sigit Riyanto merasa prihatin melihat kebijakan DPR saat membentuk panitia khusus Century dan tidak pernah sedikit pun terbersit inisiatif untuk membentuk panitia khusus guna menangani permasalahan-permasalahan lingkungan, misalnya kasus Lapindo di Jawa Timur. "Ini menunjukkan jika permasalahan lingkungan berada di urutan terendah dalam penegakan hukum. Hal ini menjadi kondisi yang lazim terjadi di negara berkembang, seperti Indonesia. Meski sudah ada legislasi, namun upaya penegakan hukum lingkungan masih normatif," katanya.
Untuk menyikapi kondisi tersebut, Sigit menyarankan masyarakat sipil dan NGO agar mengambil peran dalam mengimbangi lobi yang dilakukan pelaku industri. Dengan demikian, dalam konteks perlindungan lingkungan semestinya muncul pemahaman soal eksploitasi tidak hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga generasi mendatang. "Jangan menyelesaikan kasus lingkungan justru mengorbankan lingkungan itu sendiri. Karena dari berbagai kasus, pihak yang bersengketa tidak beri prioritas untuk merampungkan masalah lingkungan. Itu yang terjadi sekarang," kata Sigit.
Rekan sejawat Sigit, Linda Yanti Sulistiawati, S.H., M.Sc., memiliki pandangan yang serupa. Dikatakannya bahwa sesungguhnya untuk permasalahan lingkungan, Indonesia telah memiliki pedoman legal untuk perlindungan lingkungan. Beberapa di antaranya adalah UU No 23/1997 telah mengamanatkan pengelolaan lingkungan hidup. Di samping itu, Ketetapan MPR No. 17/MPR/1998 tentang HAM, dalam Bab Deklarasi Nasional juga memuat persoalan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat. Demikian juga dengan UU 39/1999 tentang HAM yang menempatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam UU tersebut, HAM menjamin adanya kebebasan manusia di bawah bagian hak untuk hidup atau right to live.
Linda juga sangat menyayangkan kasus Lumpur Lapindo 2006 atau kasus kebakaran hutan periode 1997-1998. Berbagai kasus tersebut menunjukkan penegakan hukum lingkungan sangatlah rendah dan korban kerusakan lingkungan harus berjuang untuk hidup agar survive. "Meski sudah banyak aturan hukum lingkungan dimiliki, tapi perlindungan terhadap korban masih minimal, jauh dari idealita. Pemerintah dan industri harusnya lebih memberi perhatian untuk patuh pada penegakan hukum lingkungan," kata Linda.
Sementara itu, Prof. Michael Faure, dosen Maastricht University, Belanda, mengingatkan mereka yang menginginkan adanya perbaikan kualitas lingkungan, harus berpegang pada riset empiris atas kondisi yang terjadi di suatu negara.
Kualitas lingkungan yang baik ditemukan pada negara-negara yang efektif menerapkan hukum lingkungan secara tegas dan kepatuhan atas instrumen penegakan hukumnya. "Termasuk memberikan perhatian kepada kemiskinan dan minimnya pendapatan masyarakat sekitar di lokasi terjadinya kerusakan lingkungan hidupnya," kata Prof. Faure (Humas UGM/ Agung)