Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi akan bahan bakar minyak. Ketergantungan tersebut semakin melemahkan tingkat ketahanan energi bangsa. Selain permasalahan itu, Indonesia juga menghadapi beberapa persoalan lain di bidang energi. Permasalahan lainnya, antara lain, penggunaan energi alternatif, khususnya belum berkembangnya energi terbarukan. Pangsa energi terbarukan, seperti panas bumi, bahan bakar nabati, energi surya, tenaga angin, mikro hidro, uranium, dan thorium, belum dimanfaatkan secara optimal, padahal memiliki potensi yang cukup besar.
Potensi tenaga air adalah sebesar 75.670 MWe dan yang dimanfaatkan baru 4.200 mega watt. Sementara itu, panas bumi sebesar 28.170 Mwe, tetapi baru dimanfaatkan sebanyak 1.189 mega watt. Mikro hidro sebesar 500 MWe hanya dimanfaatkan sebanyak 86,1 mega watt, sedangkan tenaga surya yang mempunyai potensi sebesar 4,8 KWh/m2/hari baru dimanfaatkan 12,1 mega watt. Untuk tenaga angin, dari jumlah 9.290 MWe, yang digunakan baru sebesar 1,1 mega watt. "Sementara itu, uranium yang memiliki potensi energi sebesar 341.120 ton dan thorium 1.500 ton justru belum dimanfaatkan sama sekali. Pemanfaatan energi baru terbarukan belum digunakan dengan optimal ini lebih disebabkan karena harga energi baru terbarukan relatif lebih mahal sehingga tidak mampu bersaing dengan harga konvensional yang masih disubsidi pemerintah,” kata Prof. Rinaldi Dalimi, anggota Dewan Energi Nasional, mewakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Dr. Darwin Zahedy Saleh, S.E., M.B.A. Pernyataan tersebut disampaikan dalam orasi ilmiahnya di KPTU Fakultas Teknik (FT) UGM pada acara Dies ke-64 FT UGM, Rabu (17/2).
Adanya subsidi pemerintah terhadap sebagian harga BBM dan listrik juga menimbulkan permasalahan yang dilematis. Di satu sisi, pemberian subsidi meringankan beban masyarakat kecil. Namun, di sisi lain pemberian subsidi yang cenderung meningkat akan semakin membebani APBN. Hal ini disebabkan Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak. Sebagai gambaran, imbuhnya, subsidi energi listrik dan BBM pada tahun 2005 sekitar 104 triliun meningkat menjadi 221 triliun pada 2008.
Lebih lanjut dikatakan Rinaldi, selama ini energi digunakan secara tidak efisien di semua sektor. Hal ini ditunjukkan dengan elastisitas energi sebesar 2,02 dan intensitas energi 382 TOE untuk menghasilkan 1 juta USD, pendapatan domestik bruto yang masih tinggi bila dibandingkan dengan beberapa negara, seperti Jepang. Dari hasil studi potensi penghematan energi yang pernah dilakukan, tampak bahwa potensi penghematan energi di seluruh sektor relatif cukup besar dan bervariasi antara 15-30%.
Selain persoalan tersebut, selama ini akses masyarakat Indonesia terhadap energi komersial masih terbatas karena keterbatasan infrastruktur energi yang ada. Hal itu diindikasikan oleh rasio elektrifikasi dan konsumsi energi per kapita yang rendah. “Dari 55.400 ribu kepala keluarga yang tersebar di seluruh Indonesia, baru sebesar 36.078 ribu kepala keluarga (61,5%) yang mendapatakan akses tenaga listrik. Ini berarti masih terdapat sekitar 19 ribu kepala keluarga (34,9%) yang belum mendapatkan akses tenaga listrik, “ jelasnya. (Humas UGM/Ika)