Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai di tahun 1992. Produksi kedelai dalam negeri saat itu mencapai 1,66 juta ton. Jumlah tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan kedelai secara nasional. Namun, setelah tahun 1992, luas lahan dan produktivitas mengalami penurunan akibat nilai tukar kedelai masih sangat rendah. Dengan kondisi ini petani merasa rugi untuk menanam kedelai. Kebijakan impor kedelai, termasuk kebijakan tarif impor yang tidak mendukung produksi kedelai dalam negeri, menjadi salah satu faktor rendahnya produksi kedelai.
“Isu yang beredar bahwa kedelai lokal kurang cocok untuk dibuat menjadi tempe sehingga sangat merugikan upaya peningkatan produksi produksi dalam negeri karena 60 persen kedelai impor dipergunakan untuk industri tempe,” ujar Dekan Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr., saat berlangsung Workshop Nasional Kedelai, Jumat (11/12).
Menurut Djagal, di samping adanya kebijakan baru di bidang tarif impor kedelai yang pada tahun 2008 menjadi 0 persen, perlu ditinjau kembali dan perlu ada kebijakan untuk distribusi kedelai lokal kepada industri tempe. Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan swasembada kedelai pada tahun 2014. Untuk itu, sejak beberapa tahun lalu telah diupayakan kenaikan produksi kedelai melalui program Gerakan Menanam Palawija dan Jagung (Gemapalagung). Meskipun demikian, hasilnya masih belum terlihat nyata dan upaya tersebut memerlukan perluasan lahan serta pemberian langsung bibit unggul.
Djagal Wiseso mengatakan harga kedelai lokal hasil petani dengan kadar kotoran 10-15% adalah Rp5.000,00/kg dan apabila bersih dengan kadar kotoran hanya 5%, harganya bisa mencapai Rp5.500,00. Dengan harga tersebut, petani sudah merasa mendapat keuntungan sehingga kembali bergairah untuk menanam kedelai. Dalam hal ini, industri tempe pun diuntungkan selama kualitas dan ketersediaannya dapat dijaga. “Industri tempe dan tahu adalah industri rumah tangga, industri kecil dengan jumlah yang mencapai jutaan perajin. Mereka dibatasi oleh modal, pengetahuan sumber daya manusia. Untuk itu, agar dapat terus berkembang dan mau menggunakan kedelai lokal hasil petani, mereka tentunya harus dibantu pemerintah melalui sebuah kegiatan yang terintegrasi,” imbuhnya.
Workshop yang mengangkat tema “Strategi Percepatan Swasembada Kedelai dan Kesiapan Industri dalam Pemanfaatan Kedelai Lokal” ini menghadirkan pembicara Dirut Perum Bulog, Ir. Sutarto Alimoeso, M.M., yang membahas ‘Re-Orientasi Kebijakan Bulog dalam Menyongsong Swasembada Kedelai 2014’, Dirjen P2HP, Prof. Dr. Ir. Zaenal Bahrudin, M.Sc., yang mengupas ‘Tantangan dan Peluang Industri Kecil dan Rumah Tangga Berbasis Kedelai Lokal dalam Menggantikan Kedelai Impor’, dan Direktur KABI, Departemen Pertanian, Dr. Ir. Muchlizar Murkam, M.M., yang membedah ‘Perkembangan Kedelai Nasional Tahun 2009’ serta Edy Kemenady dari PT Sari Husada Tbk. yang mengurai permasalahan ‘Model Kemitraan Petani dan Industri dalam Mengembangkan Afordable Produk Berbasis Kedelai Lokal”. (Humas UGM/Agung)