Mantan Kepala Lab DNA Pudokkes Tim Disaster Victim Identification (DVI) Mabes Polri, Drs. Putu T. Widodo, DFM, M.Si., mengatakan salah satu kunci dalam identifikasi korban kecelakaan pesawat terbang adalah dengan membandingkan data antemortem dan postmortem. Apabila kedua data tersebut cocok maka identitas korban akan lebih mudah diketahui. Apabila keduanya belum cocok maka akan diulangi kembali pengambilan data tersebut.” Jika dua datanya ini tidak ada, pasti korban tidak bisa teridentifikasi,” kata Putu Widodo dalam webinar yang diselenggarakan oleh Fakultas Biologi UGM yang bertajuk Tes DNA Dalam Identifikasi Korban Kecelakaan Pesawat Terbang, Senin (18/1).
Menurut alumnus Fakultas Biologi UGM ini, membandingkan data postmortem dan antemortem korban merupakan langkah terbaik dan mempermudah identifikasi korban kecelakaan pesawat selama pengalamannya dalam menangani beberapa kecelakaan pesawat seperti pesawat Garuda yang terbakar di bandara Adisucipto Yogyakarta tahun 2007, kecelakaan pesawat Adam Air di selat Makassar 2007, Air Asia jatuh di sekitar pangkalan Bun Kalteng tahun 2014 dan kecelakaan Lion Air yang jatuh di laut Jawa pada 2018. Namun, sejauh ini pengumpulan data antemortem belum banyak dipelajari karena mencari sampel data korban semasa masih hidup tidaklah mudah. “Tantangannya jauh lebih besar, kita harus ketemu keluarga, sahabat karibnya, rumah atau tempat nongkrongnya dimana,” katanya.
Namun, dalam melakukan identifikasi korban, tim DVI selalu menggunakan lima sumber data berupa data dari sidik jari, odontologi, DNA, data medis, dan properti korban. Khusus sidik jari, kata Widodo, korban yang di bawah 17 tahun sulit dicari data lengkap sidik jari karena belum memiliki KTP. Begitu pun data odontologi karena tidak semua dokter selalu menyimpan rekaman gigi pasiennya. “Sulit mendapatkannya,” katanya.
Sementara dari data medis diambil dari penampakan tulang, tato atau pernah memiliki cacat pasca operasi. Sedangkan data properti diambil dari barang-barang yang dibawa maupun yang sering dipakai korban.”Yang dibawa maupun ditinggalkan oleh si korban diambil datanya, siapa tahu properti ini mengandung DNA, misalnya baju yang belum dicuci di rumah, banyak sumber DNA. Bahkan, bisa diambil DNA dari kerah baju yang belum dicuci,” katanya.
Mengenai identifikasi DNA ini, tim DVI umumnya harus mengetahui silsilah keluarga yang diketahui dari pelapor yang merupakan kerabat dekat korban. “Apabila keluarga bisa menyampaikan DNA kepada DVI kemungkinan besar bisa mengembalikan jenazah kepada keluarga yang benar,” paparnya.
Peneliti Genetika dan Forensik dari Fakultas Biologi UGM, Dr. Niken Saputri Nur Handayani, menilai identifikasi korban melalui data DNA dengan cara mencocokkan data DNA yang diambil dari keluarga terdekat yakni orang tua, anak atau saudara kandung. “Profil DNA dari keluarga dekat besar kemungkinan mendekati kemiripan, beda dengan keluarga jauh,“ katanya.
Ia menjelaskan sampel DNA yang diambil dari korban kecelakaan pesawat baik dalam kondisi utuh maupun tidak pada umumnya sampel DNA dari jaringan otot lengan korban, bagian tulang atau bagian dari gigi geraham yang dianggap sumber DNA paling bagus karena tidak banyak terpapar dari lingkungan luar. Sementara dari pihak keluarga, sumber DNA yang diambil dari bagian tubuh jaringan yang memiliki sel inti yakni sel darah putih.
Penulis : Gusti Grehenson