Di era industri 4.0 keberadaan museum nampaknya masih belum menjadi perhatian bagi kaum milenial. Padahal, hasil studi terakhir memperlihatkan di tahun 2020 – 2035, generasi milenial adalah pemilik porsi terbesar pada komunitas-komunitas untuk menjadi target market.
“Sehingga yang perlu dilakukan adalah bagaimana membuat para millenial ini tertarik berkunjung ke museum,” ujar Dr. Ayu Helena Cornellia., BA., MBA, dosen STP AMPTA Yogyakarta, Selasa malam (15/12) saat menjadi pembicara diskusi daring bertema Museum di Yogyakarta: Masalah Promosi dan Solusinya.
Hasil penelitian yang ia lakukan pada tahun 2018 memperlihatkan sejumlah kendala dalam pengembangan museum sebagai destinasi wisata. Diantaranya manajeman museum belum maksimal dalam pengelolaan, dan belum pernah merekrut staf khusus di bidang public relation/ humas atau marketing.
Kenapa manajemen belum maksimal, kata Ayu, lebih pada keterbatasan dana atau budget untuk melakukan komunikasi pemasaran. Demikian pula soal sumber daya manusia, tidak sedikit dari pengelola museum belum memiliki passion sehingga tidak jarang sering terkesan kurang ramah dan lain-lain.
“Mindset masih berorientasi pada produk belum consumer oriented. Ini penting diungkap mengingat target pasar terbesar Indonesia saat ini adalah generasi milenial,” katanya.
Dalam diskusi daring yang diselengggarakan Program Studi Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana UGM, Ayu menyebut hasil penelitiannya di tahun 2018 masih ada 10 persen museum dengan status tidak jelas sehingga sangat wajar jika terkait rencana pemasaran pun mereka belum memiliki.
Oleh karena itu, menurutnya, penting untuk menciptakan model pemasaran. Model pemasaran ini yang utama terkait dengan kebijakan pemerintah.
“Meski begitu kali ini saya akan fokus pada strategi pemasaran, yaitu integrated marketing communication atau sering dibilang promosi, sebab di era digital ini memang harus bisa mempromosikan secara positif kalau memang ingin dikenal,” katanya.
Ayu menyebut berbagai bisnis yang dimiliki saat ini, baik profit maupun non-profit sebaiknya dilengkapi dengan perencanaan publik relation karena di era saat ini melalui media sosial semua bisa mengupdate dengan baik.
Meski begitu, katanya, antara yang dipromosikan dengan yang ada di media sosial harus balance. Jadi, jangan sampai apa yang ditampilkan di medsos tidak sesuai dengan kenyataan sesungguhnya.
“Jadi, kalau kita punya destinasi wisata, museum atau atraksi bisa melakukan itu. Itu yang menjadi tujuan kita agar museum menjadi enjoyment. Bisa pula menjadikan museum sebagai co-working space agar milenial lebih tertarik belajar di museum daripada belajar di cafe,” imbuhnya.
Ayu mengatakan itu sebab belum lama museum Sonobudoyo dinobatkan sebagai museum cantik karena konten-konten yang dimiliki di instagram. Konten-konten tersebut banyak dilihat para netizen, dan museum Sonobudoyo bisa menyampaikan personal branding dengan baik.
“Karena itu mengaktifkan dan meningkatkan medsos bisa menjadi kunci. Museum tidak harus meniru museum yang lain, tapi bagaimana dengan karakter sendiri bisa ditingkatkan dan dikenal orang lain. Keberadaan website adalah keharusan, dan sesering mungkin mengadakan spesial event agar orang semakin senang berkunjung ke museum,” terangnya.
Drs. John Soeprihanto., MM., Ph.D selaku pembahas sepakat jika upaya yang dilakukan saat ini adalah menarik generasi milenial berkunjung ke museum karena generasi milenial adalah future market.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Campa Tour