Amerika Serikat kembali melaksanakan pemilihan umum presiden tahun ini. Dua kandidat kuat dari masing-masing partai mayoritas maju untuk memperebutkan kursi kepresidenan. Mereka adalah Donald Trump dari Partai Republik dan Joe Biden dari Partai Demokrat.
Sejak dimulainya masa pemungutan suara 3 November 2020 lalu hingga Jumat (6/11), Joe Biden tercatat telah memimpin dengan 253 suara elektoral dibanding Donald Trump dengan 214 suara elektoral. Dengan aturan dari sistem Electoral College yang dipergunakan dalam Pilpres AS, Joe Biden sudah berada di atas angin. Hal itu karena mantan Senator Negara Bagian Delaware itu hanya butuh 17 suara lagi untuk memenangkan suara mayoritas, yakni 270 suara elektoral.
Hal tersebut menjadi semakin nyata dengan melihat perhitungan suara di negara bagian Pennsylvania yang memiliki 20 suara elektoral. Berdasarkan Decision Desk HQ pada Sabtu (7/11) pagi, Biden telah sah untuk disebut memenangi negara bagian tersebut, sehingga perolehan suaranya kini mencapai 273 suara. Meski perhitungan belum final di beberapa negara bagian lain, tetapi jarak tersebut sudah tidak dapat terkejar lagi.
Sementara dari kubu Donald Trump telah mengajukan gugatan ke tiga negara bagian karena merasa dicurangi dalam perhitungan suara. Meski 2 dari 3 negara bagian tersebut telah ditolak, Trump kini mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, Dosen HI UGM, menjelaskan bahwa proses pemilihan di AS memanglah berbeda dengan di Indonesia. Perhitungan suara tersebut tidak dihitung per individu, melainkan dari suara elektoral. Suara elektoral tersebut jumlahnya berbeda untuk masing-masing negara bagian. Jadi jika seorang calon unggul dalam perhitungan suara di suatu negara bagian, maka otomatis dirinya memperoleh seluruh suara elektoral di negara bagian tersebut.
Rachmat menilai hasil terkini dari Pilpres AS tersebut akan membawa angin segar terhadap politik luar negeri dunia, termasuk Indonesia. Ia menyebut selama masa kepemimpinan Trump, AS telah banyak menimbulkan kontroversi, gesekan, dan ketegangan di berbagai negara, termasuk di Asia Tenggara. Oleh karenanya, untuk memperbaiki hubungan tersebut, AS memerlukan sosok pemimpin baru di Gedung Putih.
Jika membandingkan sosok kedua kandidat tersebut, Rachmat menyebut terdapat perbedaan mencolok ketika melihat sepak terjang dan pidato kampanye keduanya selama ini. Trump mewakili wajah AS yang pongah di satu sisi, dan kehendak kuat untuk mengurangi keterlibatannya dalam masalah-masalah dunia di sisi yang lain. Sementara itu, Biden nampaknya cenderung lebih mudah untuk bernegosiasi, walau tetap dengan mengedepankan kepentingan AS, tetapi memperhatikan kepentingan negara-negara kawasan, termasuk Indonesia.
“Dengan melihat hal tersebut, maka sudah cukup jelas keuntungan yang diperoleh negara kita jika Trump terpilih kembali atau Biden yang menang. Hal itu utamanya jika kita mempertimbangkan pentingnya kerja sama antara berbagai negara di dunia untuk memenangi perang melawan Covid-19 seperti sekarang ini,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: kabar24.bisnis.com