RUU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10) menuai tanggapan banyak pihak. Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM pun membagikan penilaian terkait persoalan Undang-Undang yang rancanganya dipandang tidak berpihak pada buruh. PUKAT UGM menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil.
“RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya,” kata Ketua PUKAT UGM, Dr. Oce Madril, dalam rilis yang diterima Selasa (6/10).
Oce Madril menyebutkan proses pembentukan RUU Cipta Kerja selama ini berlangsung cepat, tertutup dan minim partisipasi publik. Dalam penyusunannya, publik kesulitan memberikan masukan karena tertutupnya akses terhadap draft RUU Cipta Kerja. Akses publik terhadap dokumen RUU ini baru tersedia pasca RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan kemudian diserahkan kepada DPR.
DPR dan pemerintah, lanjutnya, tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah pandemi Covid-19. Rapat-rapat pembahasan diselenggarakan secara tertutup dan perkembangan pembahasan draft tidak didistribusikan kepada publik. Menurutnya, pembahasan yang terus berlangsung selama pandemi dan dilakukan tanpa partisipasi publik yang maksimal hanya semakin menunjukkan ketidakpedulian DPR terhadap suara dan masukan publik.
“Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi oleh kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja,” terang dosen FH UGM ini.
Dia mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja bukan solusi atas persoalan regulasi yang ada di Indonesia. Banyak pendelegasian wewenang yang terdapat dalam RUU ini tidak mencerminkan simplifilkasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Secara substansi RUU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. RUU Ini memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi desentralisasi di Indonesia. Sentralisasi yang berlebihan rentan terhadap potensi korupsi, salah satunya karena akan semakin minimnya pengawasan.
“Pemusatan kewenangan pada presiden (presiden heavy) dapat menyisakan persoalan bagaimana memastikan kontrol presiden atas kewenangan itu,”tegasnya.
Lebih lanjut dia menyampaikan dalam RUU Cipta Kerja ini terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi. Sebab, dalam RUU ini menghapus persyaratan “tidak bertentangan dengan UU” yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah. Hal tersebut membuat lingkup diskresi menjadi sangat luas dan rentan terhadap penyalahgunaan. Terlebih Indonesia belum memiliki pedoman yang jelas dalam menentukan batasan diskresi.
Penulis: Ika
Foto: Sinarharapan.co