Tanggal 1 Mei diperingati sebagai sebagai Hari Buruh Sedunia. Berbagai seremoni dan kegiatan dilakukan di sebagian besar kota-kota dunia. Beberapa kelompok buruh memperingatinya dengan melakukan upacara kebersamaan, kegiatan sosial, dan tidak sedikit dari mereka melakukan aksi gelar demo terkait keprihatinan nasib buruh, termasuk orasi aspirasi buruh di Istana Negara hari ini.
Dari berbagai kegiatan dan seremoni berharap peringatan Hari Buruh sebagai momentum untuk merubah nasib para buruh. Karena nasib baik buruh di dunia belum berpihak padanya, termasuk buruh-buruh di Indonesia.
“Mereka belum sepenuhnya hidup layak sesuai dengan harapan. Penghasilan pas pasan membuat mereka terpaksa hidup apa adanya. Kerja keras yang mereka lakukan tidak seimbang dengan suasana hidup layak sebagai anak bangsa,” ujar Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D. di Kampus UGM, Rabu (1/5) dalam sebuah wawancara.
Sebagai ahli sekaligus pengamat di bidang pertanian, agrometeorologi, ilmu lingkungan dan perubahan iklim, ia menyatakan dari sekian banyak buruh yang ada di Indonesia terkadang ada yang terlupa yaitu soal status dan nasib buruh tani. Mereka terlupakan bahkan menyangkut soal status hingga saat ini belum tercatat sebagai buruh dalam nomenklatur dalam peraturan ketenagakerjaan.
Sebagai contoh mereka para buruh tani hingga kini tidak memiliki Upah Minimal Regional (UMR) yang jelas. Padahal mereka bekerja keras di sawah dan hanya mendapatkan upah sesuai kesepakatan dengan pemilik sawah. Mereka pun tidak memiliki jaminan keberlanjutan bekerja sampai kapan.
“Bisa saja saat musim tanam mereka bekerja tetapi setelah itu mereka tidak lagi bekerja karena semua tergantung dari pemilik lahan,” katanya.
Status buruh tani merupakan status paling rendah dalam istilah dunia pertanian. Para buruh tani adalah bukan pemilik lahan (petani kaya). Mereka bukan juga sebagai petani karena hanya bekerja atau melakukan pekerjaan buruh di lahan yang bukan miliknya.
“Profesinya juga bukan seorang petani. Fenomena buruh tani ini bukan hal yang baru dan tiba-tiba, ini merupakan potret atau gambaran yang ada di masyarakat terutama di daerah-daerah pedesaan,” ucapnya.
Bayu menjelaskan mereka para buruh tani ini dicirikan dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak mengenyam dunia pendidikan. Ciri lainnya adalah kondisi perekonomian memprihatinkan.
Dilihat dari sisi perekonomian buruh, kehidupan ekonomi para buruh tani umumnya dalam kondisi parah dibanding dengan mereka para buruh yang bekerja di sektor non agraris (industri, pabrik, atau pertokoan).
“Sekali lagi, buruh tani ini merupakan pekerjaan yang temporer, tidak menentu, tidak ada kontrak kerja, dan tidak menjamin keberlangsungan jangka panjang. Buruh tani ini juga merupakan jenis pekerjaan panggilan atau kondisional yang secara waktu serta kepastian pekerjaannya sangat bergantung pada kebutuhan atau kehendak para petani atau pemilik lahan yang mau menggunakan jasanya,” jelasnya.
Lebih lanjut Bayu menuturkan petani sendiri merupakan salah satu mata pencaharian yang ciri utamanya diukur dari kepemilikan lahan pertanian yang digarapnya. Tipologi petani sendiri dari berbagai referensi juga dapat dikategorikan ke dalam 4 kelompok besar, yaitu petani kaya (>2 ha), petani kecil (1-2 ha), petani gurem (<1 ha) dan petani buruh (tidak memiliki lahan).
Sedangkan buruh tani hidup dari berburuh dan sebagian besar penghasilannya pun diperoleh dari berburuh juga, sehingga cukup beralasan jika pendapatan mereka sangat rendah dan jauh dari kelayakan.
Dengan kondisi seperti itu tentunya menjadikan buruh tani sebagai salah satu penyumbang terbesar angka kemiskinan di pedesaan. Sehingga persoalan buruh tani ini penting untuk diperhatikan dan dibela agar ada perubahan dan peningkatan tingkat kesejahteraan untuk mereka.
“Perlu dipikirkan bagaimana buruh tani ini diakomodir dalam aturan ketenagakerjaan. Syukur ada standart upah yang jelas seperti UMR karena bagaimanapun buruh tani juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia sehingga pembelaan terhadap buruh tani harusnya juga sama dengan buruh-buruh lain yang ada di sektor non agraris. Semoga momentum Hari Buruh Sedunia juga menjadi mometum perubahan nasib buruh di dunia termasuk di Indonesia,” tandasnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Koran Jakarta.com