Pancasila dimaknai lebih dari sekedar dasar negara Indonesia, melainkan juga pandangan hidup, pedoman, bahkan refleksi dari konstruksi budaya masyarakat. Namun dalam praktik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya masih jauh dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan semangat nasionalisme yang semakin luntur digantikan oleh komunalisme dan negara dihadapkan pada makin maraknya praktik korupsi, kolusi, nepotisme, bahkan politik dinasti yang makin menguat. Di sisi lain, dunia pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk akal budi manusia. Sayangnya, budi pekerti sering hanya dimaknai sebatas sopan santun. Padahal memuat makna mendalam seperti budaya, perasaan, dan kemauan, sekaligus menjadi dasar dari etika manusia.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional dalam rangka Pra Kongres Pancasila yang bertajuk “Kebangkitan Nasional, Nilai-nilai Pancasila dan Realitas Sosial Kontemporer”, Senin (20/5), secara daring. Seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM ini menghadirkan beberapa orang pembicara diantaranya Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, MA. Ph.D, Politisi Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H., dan Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Dr. Ir. Ali Agus.
Yudi Latif mengatakan memaknai kembali Pancasila di masa sekarang tidak terlepas dari sejarah panjang kemerdekaan Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan negara pertama yang mendeklarasikan kemerdekaannya setelah Perang Dunia II. Deklarasi ini menjadi salah satu tonggak pertama penghapusan kolonialisme dunia. Bahkan setelah merdeka, Indonesia masih terus menjadi pelopor dalam solidaritas, kerja sama antar negara, dan dekolonisasi internasional.
“Kalau kita lihat bagaimana kebangkitan nasional ini dimulai, pasti dari gerakan pendidikan. Tidak ada di negara manapun perubahan tidak dimulai dari pengembangan mutu manusia,” papar Yudi.
Ia menganggap bahwa pentingnya pendidikan ini yang akan membentuk akal budi manusia. Budi pekerti sendiri saat ini hanya dimaknai sebatas sopan santun. Padahal “budi pekerti” memuat makna mendalam seperti budaya, perasaan, dan kemauan, sekaligus menjadi dasar dari etika manusia.
Menurut Yudi, inti utama dalam persatuan dan kesatuan adalah etika itu sendiri. Kemajemukan masyarakat Indonesia tidak akan pernah bisa disatukan apabila tidak ada konektivitas dan inklusivitas yang didasarkan pada keinginan untuk saling terhubung. Rasa tenggang rasa, toleransi, etika, bahkan pengakuan akan perbedaan ini menjadi dasar dari integritas sosial. “Tanpa etika, tidak mungkin ada tertib sosial. Tanpa moral, tidak mungkin ada kehendak untuk membuat koneksi dan inklusi. Etika lah semen sosial yang memberi kepastian, kenyamanan, willingness,” pungkas Yudi.
Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H., Politisi yang pernah menjabat sebagai Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) juga mengungkapkan keprihatinan terhadap praktik berbangsa dan bernegara yang jauh dari nilai Pancasila. “Saat ini kita dihadapkan oleh banyak tantangan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, bahkan dinasti. Tantangan kebhinekaan ini berwujud semangat nasionalisme yang semakin luntur digantikan oleh komunalisme,” ucap Gayus.
Gayus juga menyoroti soal integritas pelaksanaan Pemilu 2024 yang dianggap mengabaikan nilai etika dan Pancasila itu sendiri. Ia menjelaskan bagaimana hukum digunakan sebagai alat politik, khususnya pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.9 Tahun 2023 tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden. “Aturan-aturan dalam pemilu diubah sedemikian rupa untuk kepentingan kelompok tertentu. Fenomena ini memberikan indikasi adanya upaya pelemahan nilai-nilai Pancasila dan demokrasi,” paparnya.
Ali Agus menyebutkan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia jangan pernah dilupakan. Terutama cita-cita terkait kesejahteraan rakyat dari pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan. Di bidang pangan, menurutnya, petani memegang peran penting memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun dari jumlahnya makin sedikit dan kondisi ekonomi yang jauh dari sejahtera. “Pada tahun 2021 kita hanya memiliki 38,8 petani untuk 285 juta penduduk Indonesia, dan dari waktu ke waktu usianya semakin menua. Mereka yang merupakan tombak kesejahteraan masyarakat, justru berada di bawah garis kemiskinan dan termarginalkan,” ucapnya.
Saat ini, petani dihadapkan pada rendahnya nilai jual beras dan lahan yang semakin sempit. Apa yang dihasilkan dari bertani tidak sepadan dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan. Belum lagi dengan munculnya masalah lain, seperti harga pupuk mahal, perubahan iklim, kerugian gagal panen, dan hal-hal lain yang membuat petani terus berada di lingkaran kemiskinan. “Saya kira isu-isu ini merupakan salah satu tugas negara juga, bagaimana menciptakan keadilan dan kesetaraan yang juga merupakan pemaknaan terhadap Pancasila dalam realitas sosial masa kini kita”, kata Ali.
Ketua Dewan Guru Besar (DGB) UGM Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc., dalam sambutannya mengatakan Universitas Gadjah Mada sebagai institusi pendidikan turut serta berkontribusi dalam memperkuat penerapan nilai-nilai Pancasila. “UGM adalah universitas Pancasila, universitas kerakyatan, universitas pusat kebudayaan, dan universitas perjuangan. Kami sebagai Dewan Guru Besar UGM memiliki mandat untuk mengawal implementasi Pancasila ini,” pungkasnya.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson
Foto: Freepik