![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/09/08092015995466851742850758.jpg)
Kebijakan pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp29 triliun untuk mendistribusikan 7,9 juta ton pupuk bersubsidi bagi petani dinilai belum mampu mendorong produktivitas hasil pertanian. Pemerintah diminta mendorong kebijakan subsidi bidang pertanian lainnya agar petani semakin maju dan berkembang. Hal itu mengemuka dalam webinar yang bertajuk Meninjau Ulang Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Indonesia yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM, Selasa (8/9).
Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, mengatakan DPR menyetujui penyediaan pupuk bersubsidi sebesar 7,9 juta ton tahun ini dengan total anggaran lebih dari 29 triliun rupiah. Namun demikian, jumlah pupuk subsidi tersebut belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan petani karena keterbatasan anggaran. “Usulan dari seluruh kelompok tani itu capai Rp61 triliun, namun negara menyiapkan Rp29 triliun, jauh dari batas kemampuan anggaran,”katanya.
Menurutnya, diperlukan sistem pengajuan untuk pemenuhan kebutuhan pupuk bersubsidi ini. Menurutnya, selama mekanismenya melalui pengajuan lewat Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) lewat para kelompok tani. “Anggaran subsidi pupuk terus menurun. Harus dicari pola menyeimbangkan kebutuhan pupuk dan kebutuhan anggaran pemerintah. Jika dipertahankan RDKK tidak akan ada solusinya,”tegasnya.
Soal kepemilkan adanya kartu tani untuk mengakses pupuk bersubsidi, Johan mengatakan DPR belum sepakat dan tidak mewajibkan petani untuk harus mendapatkan kartu tani. “Pertemuan rapat DPR dan Kementan, kita tidak mewajibkan adanya kartu tani ini,”katanya.
Disamping itu, Johan juga mengkritisi kebijakan pemberian pupuk bersubsidi ini juga tidak mampu mendorong produksi pertanian. Menurutnya, produktivitas pertanian kita selama ini justru lebih rendah dibanding dari konsumsi pupuk. “Semakin banyak konsumsi pupuk tidak berbanding lurus pada peningkatan produktivitas, anggaran pupuk ditambah tidak berbanding dengan produktivitas,”imbuhnya.
Direktur Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian Kementan RI, Sarwo Edhi, mengatakan pendistribusian pupuk bersubsidi saat ini tidak semuanya bisa memenuhi kebutuhan para petani sehingga terjadi kelangkaan pupuk di beberapa daerah. “Kekurangan pupuk antar desa dan kecamatan bisa dilakukan realokasi oleh kepala dinas masing-masing. Sementara kelangkaan antar provinsi dilakukan realokasi oleh kementan,” katanya.
Ia menambahkan Kementan sudah mengajukan dana tambahan ke Kementerian Keuangan soal kekurangan jumlah pupuk bersubsidi ini sehingga mendapat tambahan anggaran sebesar Rp3,14 triliun untuk tambahan penyediaan satu juta ton pupuk bersubsidi,
Pakar kebijakan Publik UGM sekaligus peneliti subsidi pupuk di pulau Jawa, Dr. Indri Dwi Apriliyanti, mengatakan tantangan kebijakan pertanian di Indonesia bukan soal akses subsidi pupuk, namun mendorong kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ia menyebutkan di negara dengan sektor pertanian yang lebih maju seperti China, India dan Thailand menerapkan kebijakan subsidi pertanian tidak hanya pada pupuk saja, namun kebijakan lain berbasis produk, pelaku usaha pertanian hingga intervensi pasar. “Mereka melakukan subsidi pada seluruh produk, subsidi benih, pupuk, air, listrik, untuk bantu petani memproses menanam tanaman. Ada juga subsidi bahan bakar, agar petani bisa bawa hasil panennya dari desa ke perkotaan,”katanya.
Memperbaiki infrastruktur di sekitar lokasi pertanian pedesaan dan di daerah terpencil menurutnya bisa membantu petani bisa mengakses listrik dan air sehingga produktivitas pertanian meningkat. “Terpenting petani bisa mengakses infrastruktur,”katanya.
Menurutnya, langkah ini dilakukan oleh China pada era tahun 2000-an sehingga mampu meningkatkan 40 persen produktivitas dan ketahanan pangan makin membaik. “Ada peningkatan produktivitas di petani dan daya beli di petani. Bila sektor pertanian berkembang maka sektor transportasi produk pertanian ke perkotaan juga meningkat,”ungkapnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra