Mikroalga baru-baru ini dikenal dengan kemampuannya menyerap karbon dioksida. CO2 akan diserap dan diproses melalui metabolisme yang melibatkan protein, lemak, dan karbohidrat dalam jumlah besar. Selain itu, mikroalga mudah bertahan hidup di daerah berpolusi, suhu ekstrem, bahkan udara beracun. Potensi ini tentunya menarik untuk diteliti lebih lanjut agar bisa mengatasi masalah perubahan iklim di dunia. Melihat peluang tersebut, PSE UGM pun berhasil mengembangkan teknologi Microforest 100 berbasis mikroalga ini sebagai bentuk kontribusi terhadap komitmen Net Zero Carbon.
Teknologi ini diinisiasi oleh Guru Besar Teknik Kimia Fakultas Teknik, Prof. Ir. Arief Budiman, D.Eng. dan Dosen Fakultas Biologi Dr. Eko Agus Suyono. Keduanya merupakan Peneliti Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUIPT) Microalgae Biorefinery UGM melalui program dana pendamping dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui platform Kedaireka tahun anggaran 2022 lalu.
Kedua peneliti ini telah merancang prototipe Algaetree, yakni teknologi dekarbonisasi untuk mengatasi produksi karbon atau CO2 di udara terbuka. Berkat hasil kerja sama dengan startup PT Algatech Nusantara, prototipe tersebut berhasil dikembangkan menjadi produk bernama Microforest 100. Peluncuran instalasi Microforest 100 ini pun diselenggarakan Senin (17/6) di Masjid Raya Syeikh Zayed Solo. Dalam sesi peluncuran tersebut, Rangga Wishesa, CEO Algatech Nusantara menjelaskan cara kerja Microforest 100. “Instalasi setinggi dua meter tersebut berfungsi untuk menyerap karbon di udara dengan teknologi fotobioreaktor,” kata Rangga dalam rilis yang dikirim, Kamis (26/6).
Rangga juga menyebutkan, PT Algatech Nusantara menyambut baik bisa bekerja sama mengembangkan prototipe peneliti UGM. Startup tersebut membantu menambahkan beberapa fitur pelengkap seperti pengembangan desain, fabrikasi dan penambahan alat-alat sensor kondisi kultivasi agar Microforest mampu bekerja secara maksimal.
Menurutnya, sistem di dalam Microforest 100 akan menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, bahkan setara dengan lima pohon dewasa berumur sekitar 15 tahun. Hal ini didasarkan pada kemampuan mikroalga sendiri yang dapat menyerap karbon dioksida 30-50 kali lipat lebih banyak dibanding tanaman terestrial saat ini.
Penempatan pertama Microforest 100 di Masjid Raya Syeikh Zayed dirasa cocok karena tingginya tingkat pengunjung masjid tersebut. Alat ini diletakkan di ruangan terbuka supaya dapat menyerap CO2 yang dihasilkan pengunjung. Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, Munajat, Ph.D., mengatakan masjid bisa saja menjadi salah satu fasilitas publik yang ramai dikunjungi dan menghasilkan banyak emisi karbon. Apalagi, Masjid Raya Syeikh sendiri bisa menerima puluhan ribu pengunjung setiap harinya. “Peluncuran Microforest 100 ini sekaligus memantau sejauh mana mesin bisa bertahan menyerap karbon untuk nantinya menjadi bahan pengembangan lebih lanjut,” katanya.
Sesi peluncuran Microforest 100 dihadiri oleh segenap inovator dari peneliti UGM, Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, perwakilan direksi PT Algatech, serta Wakil Wali Kota Surakarta, Teguh Prakosa. Selain itu, turut hadir perwakilan dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk melihat teknologi Microforest 100 ini diterapkan pertama kali di masjid Indonesia. Rencananya, jika terbukti efektif menyerap karbon dalam jumlah besar, Microforest 100 akan dikembangkan lebih lanjut untuk diletakkan di tempat-tempat ibadah seperti Masjidil Haram Mekkah dan Masjid Nabawi.
Menurut Eko Agus Suyono, mikroalga masih memiliki potensi agar dikembangkan menjadi produk olahan lain, seperti bahan bakar bioenergi. Harapannya, potensi tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas. “Dengan begitu, pengurangan emisi karbon dapat berlangsung secara masif dalam mengatasi perubahan iklim,” tutupnya.
Penulis: Tasya
Editor: Gusti Grehenson