Upaya pemberantasan korupsi saat ini yang begitu mengkhawatirkan. Lembaga KPK yang secara historis seharusnya berdiri secara independen sebagai respon atas ketidakpercayaan publik terhadap institusi kejaksaan dan polisi. Namun, saat ini kondisinya jauh dari harapan, apalagi semenjak kekuasaanya dipangkas oleh revisi Undang-Undang (UU) KPK. Melalui UU No. 19/2019, kini status KPK tak lagi independen melainkan berada di bawah rumpun eksekutif dan status pegawainya yang beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Oleh karena itu penting untuk mengembalikan independensi KPK, seperti perubahan undang-undang dan memperkuat lembaga-lembaga penyokong serta memperbaiki sistem untuk melepas logika institusionalis yang terlalu bergantung pada institusi-institusi tertentu.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi publik yang bertajuk “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” pada Rabu (10/7) di Hotel University Club (UC) UGM. Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Transparency International Indonesia (TII) menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko, dan Direktur Caksana Institute Wasingatu Zakiyah, M.A.
Wawan mengemukakan hasil penelitiannya terhadap hasil kinerja KPK yang menurutnya tengah berada di titik nadir. Dari hasil analisis Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment, sebagian besar dari 50 indikator yang terbagi dalam 6 dimensi pengukuran, ditemukan fakta bahwa kinerja KPK setelah revisi UU mengalami penurunan yang signifikan. Tingkat penurunan terbesar terjadi pada dimensi Independensi dan Status yang turun sebesar 55%, dilanjutkan dimensi Kerja Sama dan Hubungan Internasional sebesar 25%, dimensi Penyelidikan dan Penuntutan sebesar 22%. “Termasuk tiga dimensi lain Sumber Daya Manusia dan Anggaran, Akuntabilitas dan Integritas, dan Pencegahan, Pendidikan, dan Penjangkauan juga mengalami penurunan” katanya.
Menyikapi hal itu, Zainal mengungkapkan kepesimisannya terhadap agenda pemberantasan korupsi dalam beberapa waktu ke depan, pasalnya variabel-variabel untuk pengembalian independensi KPK, seperti perubahan undang-undang KPK tidak pernah dibahas oleh Presiden terpilih. Oleh karena itu, ia menekankan alih-alih terlalu bergantung pada institusional, ada baiknya bahwa dapat memperkuat lembaga-lembaga penyokong dan memperbaiki sistem untuk melepas logika institusionalis yang terlalu bergantung pada institusi-institusi tertentu dan berharap mereka untuk memecahkan segala permasalahan yang ada.
“Kita tetap berjuang dengan jalur KPK, tapi jangan lagi selalu menganggap KPK selalu faktor penting dalam pemberantasan korupsi. Mau tidak mau tidak mau jalur-jalur lain harus kita gunakan,” jelasnya.
Sementara Zakiyah menilai pentingnya peran serta publik dalam memberantas korupsi, dan membangkitkan lagi ‘Jumat Keramat’ KPK. Menurutnya publik perlu mengawasi proses-proses pemerintahan termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah dan pemilihan pimpinan KPK, serta memberikan tekanan kepada pemerintah untuk bersikap tegas dalam memberantas korupsi. “Kita perlu untuk bergerak dan bersikap lebih proaktif terhadap hal-hal salah yang selama ini kerap kali dinormalisasi,” jelasnya.
Penulis: Leony
Editor: Gusti Grehenson