Pandemi Covid-19 yang melanda hampir sebagian besar negara dunia menimbulkan situasi ketidakpastian, termasuk Indonesia. Sejumlah kebijakan dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi dampak yang timbul akibat virus corona.
Pengamat Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest, Agus Pambagio, menyebutkan masih terdapat sejumlah persoalan pada kebijakan publik yang ditetapkan pemerintah dalam penanggulangan Covid-19. Misalnya dari aspek hukum, masih ada peraturan yang saling berbenturan dengan peratuan setingkat lainnya.
“Selain itu, juga banyak muncul surat edaran yang bukan suatu produk hukum sehingga sulit dilaksanakan karena hanya semacam informasi internal saja,” tuturnya dalam acara Bedah Buku: Kebijakan Penanggulangan Covid-19 yang berlangsung secara daring, Kamis (30/7).
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Prodi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM ini Agus mengatakan akurasi data juga masih menjadi persoalan yang dihadapi pemerintah. Dia mencontohkan hingga saat ini masih banyak perbedaan data dari pemerintah, IDI, dan pemerintah daerah terkait Covid-19. Ditambah dengan perbedaan klasifikasi data dengan WHO terkkait PDP dan ODP dan data bantuan sosial yang kacau.
Kebijakan publik saat ini dinilai Agus masih terlihat mengedepankan ego sektoral masing-masing lembaga atau institusi. Misalnya antara kementrian perhubungan dengan satgas pada angkutan mudik, kementrian perhubungan dengan pemda DKI pada operasi KRL dan lainnnya.
Tak hanya itu, kebijakan yang diambil juga dipandang tidak efektif. Agus menyebutkan hal itu pada kasus kartu pra kerja, penunjukkan platform digital dan penyedia konten yang tidak transparan. Contoh lain terkait kebijakan PSBB versus lockdown yang memunculkan kebingungan di masyarakat.
“Banyak hal yang membingungkan masyarakat diulas pada buku ini untuk mengingatkan pengambil kebijakan jika masih ada persoalan saat ini,”katanya.
Pengamat Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest lainnya, Edie Haryoto, menyebutkan kebijakan publik yang bersifat fast respon perlu diambil pemerintah dalam masa darurat penyebaran Covid-19. Selain itu, juga dibutuhkan adanya transparansi data serta kebijakan.
“Kebijakan yang terjadi justru menunjukkan respons yang lambat dan transparansi data juga belum jelas, tidak efektif dan membingungkan,” tuturnya.
Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan juga harus komprehensif dan independen. Disamping hal tersebut, komunikasi dan stimulus yang efeketif untuk dapat membentuk kepercayaan publik pada pemerintah.
Sementara Ketua Prodi Magister dan Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM, Prof. Muhadjir Darwin, menyampaikan bahwa Covid-19 merupakan persoalan kesehatan baru bagi semua negara. Setiap negara di dunia melakukan inovasi berbeda sesuai dengan kebijakan masing-masing dalam menanggulangi virus corona, termasuk Indonesia.
“Persoalan inovasi itu ketangkasan tentang bersikap,”katanya.
Dalam inovasi kebijakan terkait penanganan Covid-19 di tanah air, Muhadjir menyebutkan pemerintah masih kurang dalam menyebarluaskan kebijakan yang ada guna menekan penyebaran Covid-19.
“Bagaimana kebijakan pemerintah, prosedur kesehatan untuk memutus mata rantai Covid-19 agar masyarakat berlaku sesuai anjuran, sepertinya pemerintah kurang dalam mendifusikan ini,”sebutnya.
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Prof. Wihana Kirana Jaya, menyampaikan bahwa kebijakan Indonesia belum utuh. Kebijakan yang belum utuh artinya belum lengkap.
“Kebijakan itu aturan main yang bersifat formal serta aturan penegakan yang formal dan juga informal juga harus utuh,”jelasnya.
Penulis: Ika