Di era perkembangan teknologi komunikasi dan medsos sekarang ini, sangat mudah bagi sebuah institusi atau perusahaan terkena dampak dari adanya berita negatif yang trending di sosial media. Oleh karena itu, diperlukan untuk menyusun strategi pengembangan reputasi. Hal itu mengemuka dalam workshop yang bertajuk “Pengembangan Reputasi Kampus”, Jumat (20/9), di ruang Multimedia Gedung Pusat. Workshop yang diselenggarakan oleh Sekretariat Universitas UGM ini dihadiri oleh sejumlah civitas akademika di lingkup unit kerja, Direktorat, Fakultas maupun komunitas.
Dr. Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu, S. H., LL. M., selaku Sekretaris Universitas UGM menekankan pentingnya reputasi universitas yang sangat mudah terpengaruh oleh setiap setiap tindakan individu yang membawa nama UGM. Ia kemudian mengajak semua peserta untuk memanfaatkan workshop ini demi membangun citra positif universitas di tengah publik. “Saya berharap workshop ini dapat memberikan manfaat serta dapat diaplikasikan. Tidak hanya bagi unit yang melakukan publikasi UGM, tetapi seluruh elemen UGM yang ada,” ujarnya.
Workshop ini mengundang empat narasumber dan praktisi profesional untuk memberikan tips terkait strategi membangun reputasi universitas menjadi lebih baik. Keempat narasumber tersebut antara lain Mohammad Ryan Saputra, Winda Pratiwi, Farchan Noor Rachman, serta dr. Tirta Mandira Hudhi, M. A. B.
Pada sesi pertama, terdapat sesi studi kasus dan diskusi kelompok yang diampu oleh salah satu narasumber, Mohammad Ryan Saputra. Ia memberikan dua studi kasus yang terjadi di sebuah universitas. Menurutnya penting bagi setiap peserta agar dapat menganalisa kasus tersebut untuk nantinya diberikan penugasan.
Sebagai seorang ahli dalam strategi penggunaan media sosial, Ryan memberikan wawasan kepada peserta tentang bagaimana cara menguasai lanskap media dan membangun narasi kampus terutama di Universitas Gadjah Mada. Peserta kemudian dibagi kelompok menurut unit kerja dan mempresentasikan hasil analisis kasus dan rancangan strateginya.
Pada sesi presentasi, terdapat empat fakultas dan unit kerja UGM yang memaparkan hasil diskusinya, antara lain Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPkM UGM), Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Fakultas Ilmu Budaya, dan Fakultas Teknik. Dalam sesi ini, peserta diberikan komentar serta tambahan dari Ryan serta Winda Pratiwi yang menjadi narasumber pada sesi kedua.
Dalam komentar keduanya, terdapat beberapa strategi yang dikemukakan. Winda menekankan bahwa penting bagi para pembuat berita untuk pintar-pintar memilah penyampaian beritanya. “Ada white campaign dan black campaign, keduanya tentu menghasilkan dampak yang berbeda. Maka perlu adanya taktik dalam memilahnya,” ujar Winda.
Dalam menghadapi respon audiens terhadap sebuah konten yang dibuat, Winda menyampaikan bahwa penting untuk melakukan respon balik yang benar dengan mengajak untuk berdialog daripada melakukan sebuah klarifikasi. “Media sosial itu tidak semengerikan itu. Mereka ngomongin konteks pada konten tersebut maka tidak perlu merasa sebuah institusi yang dihujat. Lebih baik mengajak para netizen untuk berdialog,” tuturnya.
Winda mengajak seluruh peserta agar dapat memiliki kemampuan strategi komunikasi yang efektif dalam manajemen krisis. Ia kemudian menugaskan kepada peserta untuk membuat sebuah materi kampanye counter issue di media sosial dalam bentuk video setelah melihat sebuah studi kasus. “Sebuah kunci dari counter issue tidak bisa dilihat dari permukaan nya saja, tapi juga perlu tau siapa yang harus dimenangkan dalam kasus tersebut,” katanya.
Winda mengungkapkan bahwa semua yang dilakukan dalam melakukan handling crisis tentu bertentangan dengan hati nurani. “Saya dituntut untuk mengambil sisi profesional saya, maka yang saya lakukan adalah dengan mengatakan bahwa ini hanyalah pekerjaaan yang harus dilakukan dengan profesional,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan bahwa penting bagi para pembuat konten untuk melihat penggunaan variabel yang dicermati oleh audiens, mulai dari cara penulisan hingga pemilihan musik untuk video yang dibuat. “Usahakan fokus dari audiens itu tidak terpecah agar value dari konten yang diberikan dapat tersampaikan dengan jelas,” ujarnya.
Farchan Noor Rachman memberikan sebuah contoh kasus perundungan dan memberikan kesempatan pada para peserta acara workshop yang hadir dari berbagai fakultas dan Instansi Universitas untuk mencoba membuat press release terkait insiden itu. Farchan menekankan pada para peserta bahwa dalam pembuatan press release, pembuat harus menekankan 3 aspek yaitu logis, kronologis, dan juga apologis, supaya publik bisa menerima kembali sebuah instansi yang namanya sudah ternoda. “Tiga hal ini adalah tiga hal yang prudent yang harus ada di dalam sebuah siaran pers ketika mengklarifikasi kejadian” jelasnya.
Setelah para peserta selesai membuat press release untuk kasus krisis kehumasan yang dijadikan sebagai study case, press release tiap peserta ditampilkan untuk dipelajari bersama-sama terkait kelebihan dari press release tersebut.
Sementara dr. Tirta Mandira Hudhi, mengadakan study case, namun dengan pendekatan yang berbeda. Di sesi ini, dr. Tirta meminta para peserta untuk membuat flowchart kronologis langkah-langkah yang harus diambil untuk menangani sebuah krisis kehumasan yang dialami oleh sebuah unit usaha guna memulihkan reputasi unit usaha tersebut.
Selain itu para peserta juga diminta untuk membuat analisis resiko dari setiap pilihan solusi yang ditawarkan. Hal ini dilakukan supaya para peserta workshop menjadi terlatih untuk menciptakan solusi penyelesaian krisis kehumasan bagi Universitas.
Menurut Tirta, Flowchart sangat diperlukan dalam pembuatan protokol penanganan krisis kehumasan, dimana flowchart dapat memudahkan tim penanganan krisis untuk memahami langkah yang harus dibuat untuk memulai dan juga menyelesaikan penanganan krisis. “Flowchart, itu penting banget karena mencerminkan pola pikir kalian bisa kritis gak, bisa mind mapping gak, flowchart seperti ini satu tim sudah langsung tahu harus ngapain” jelasnya.
Dilaksanakannya workshop ini diharapkan semua peserta yang terlibat menjadi lebih cakap dalam melakukan manajemen krisis kehumasan. Sebab, di masa yang akan datang mampu menggunakan keterampilan mereka untuk menghalau dan menyelesaikan krisis kehumasan yang mungkin terjadi di unit kerja masing-masing.
Penulis : Lintang dan Hanif
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie