Ketahanan pangan merupakan tanggung jawab negara untuk menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Namun, hingga saat ini wacana ilmiah dan politik mengenai ketahanan pangan hanya berfokus pada pengukuran kuantitatif produksi dan distribusi pangan, tetapi mengabaikan aspek-aspek lain seperti keberlanjutan ekologi dan hak-hak masyarakat adat atas praktik pertanian tradisional mereka.
Memasuki akhir masa pemerintahan Joko Widodo, berbagai program pembangunan strategis nasional di bidang pertanian, seperti Food Estate atau lumbung pangan, mulai diragukan efektivitasnya. Padahal Food Estate dibangun dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan dan produktivitas pertanian. Data menunjukkan, pembukaan lahan secara masif di Sumatera Utara pada akhirnya terbengkalai. Sekitar 80% Lahan yang seharusnya digunakan untuk komoditas strategis seperti kentang dan bawang merah kini dibiarkan terlantar akibat minimnya dukungan anggaran dan perencanaan teknis yang kurang matang.
Hal serupa juga terjadi di Kalimantan Tengah, menurut laporan Greenpeace di tahun 2022, program Food Estate meningkatkan deforestasi hutan gambut beserta keanekaragaman di dalamnya dan memicu konflik kepentingan. Ketergantungan pada proyek besar tanpa mempertimbangkan kebutuhan lokal dan dampak sosial lingkungan menjadi isu yang layak untuk dibahas dan dicarikan solusi.
Keresahan petani lokal juga bertambah dengan program makan siang gratis yang direncanakan oleh pemerintahan baru. Program ini berpotensi mengabaikan peran pangan lokal dan petani lokal serta memperkuat dominasi pangan impor. Selain itu, pemanfaatan militer atau angkatan bersenjata dalam pengelolaan proyek pangan dan pertanian dikhawatirkan tidak berpihak pada kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan mengangkat tema ‘Merapatkan Barisan Petani Lintas Generasi, Konsolidasi untuk Pertanian Lestari’ dalam rangka memperingati Hari Tani 2024. Kegiatan ini ditujukan untuk menjajaki kolaborasi lintas kelompok dan generasi untuk memperkaya perbendaharaan praktik dan wawasan seputar pertanian demi kehidupan yang lestari ini dilaksanakan secara luring, Senin (7/10), bertempat di PSPK UGM.
“Kalau kita bandingkan dengan negara lain, bahkan dengan negara kecil seperti Vietnam, kita sama sekali belum menyelesaikan persoalan petani dan pertanian untuk menuju kedaulatan Indonesia,” ujar Prof. Bambang Hudayana, M.A., Kepala PSPK UGM, saat membuka kegiatan FGD.
Menurutnya, alih fungsi lahan pertanian, penurunan jumlah regenerasi petani muda, harga panen yang fluktuatif, serta perubahan iklim menyebabkan nasib petani semakin tergerus. Bahkan menurut Bambang, petani kini harus keluar dari sektor pertanian tetapi tidak bisa menjadi pekerja yang mandiri dan sejahtera padahal pertanian adalah soko guru bagi masyarakat desa. “Semua masalah di bidang pertanian selalu diberikan solusi berupa impor, padahal yang kita butuhkan hanyalah pemerintah yang lebih pro petani,” tambah Bambang.
Lebih lanjut, ungkap Bambang, usaha tani saat ini semakin berat karena dituntut untuk menghasilkan output yang baik, tetapi inputnya harus didapatkan dengan cara berkompetisi, seperti pupuk yang semakin mahal, keterbatasan modal dan teknologi, serta jejaring pemasaran yang terbatas. Beruntungnya, di tengah pemerintahan yang carut marut, Bambang melihat mulai banyak gerakan petani yang selalu memperjuangkan nasibnya. “PSPK UGM mungkin hanya mampu menghasilkan produk-produk tulisan, tetapi sebagian karya kami bisa menghasilkan banyak inisiatif yang nyata untuk perubahan,” tegas Bambang.
Melalui kegiatan FGD ini, Bambang berharap akan terbangun ikatan petani lintas generasi karena nyatanya banyak generasi muda yang peduli dan mulai terjun ke bidang pertanian. Ia menegaskan PSPK UGM siap memberikan dukungan dalam menjawab tantangan kedaulatan pangan Indonesia dan kesejahteraan petani di tengah era globalisasi.
Ruang lingkup FGD meliputi penyusunan agenda advokasi pertanian lestari yang mencakup pemetaan tantangan pertanian Indonesia di masa depan. Agenda tersebut meliputi dominannya paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi belaka, penguasaan lahan oleh segelintir elit, kerusakan lingkungan akibat input pertanian impor berlebih, perekonomian sektor pertanian yang tidak berpihak pada kaum tani, kurangnya pembangunan SDM pertanian dan minimnya regenerasi petani, serta penaklukan praktik eksploitasi terstruktur berkedok pemberdayaan. Kegiatan FGD ini turut menghadirkan kelompok pertanian, seperti Komunitas Pawukon, Sekolah Pagesangan, Sekolah Tani Muda (Sekti Muda), Perempuan Petani “Karisma”, Kebun Code, Wadon Wadas, dan 22 komunitas lain yang turut melestarikan pertanian.
Kegiatan FGD ditutup dengan penandatanganan Deklarasi Bersama Peringatan Hari Tani Nasional 2024. Deklarasi ini sekaligus pernyataan sikap atas berbagai ketidakadilan akibat kapitalisme agraris yang dialami oleh para kaum petani yang kerap kali menjadi tumbal pembangunan pemerintah.
Dr. AB Widyanta, tim ahli resolusi konflik dan pembangunan perdamaian PSPK UGM, yang bertindak sebagai moderator FGD, mengungkapkan perubahan struktural melalui reforma agraria sejati harus dilakukan sebagai langkah untuk memperjuangkan kedaulatan sektor pertanian yang adil, lestari, dan berpihak pada kaum tani lintas generasi. “Kolaborasi ini menjadi penting guna menjawab tantangan dan mewujudkan sistem pangan yang berpihak pada kesejahteraan petani serta keberlanjutan sumber daya alam,” tutupnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto : Donnie