Pekerja informal yang tinggal menetap dan mencari penghidupan di wilayah perkotaan perlu mendapat perhatian oleh pemerintah dalam menjaga keberadaan kawasan pusaka sekaligus memberikan kontribusi bagi keberlangsungan ekonomi. Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Perencanaan Kota Universitas Gadjah Mada Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., dalam talkshow yang bertajuk “Kolaborasi Menjaga dan Meningkatkan Nilai Kota Pusaka untuk Kawasan Berkelanjutan” sebagai side event dari rangkaian acara dari Hari Habitat Dunia 2024 yang berlangsung di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, Rabu (16/10).
Menurut Bakti, jumlah ribuan pekerja informal tersebut memiliki hak hidup yang harus diakomodasi dalam lingkup kawasan pusaka dan caranya mengoptimalkan nilai-nilai tersebut untuk keberlanjutan kota. “Sekadar mengingatkan, kita punya tanggung jawab untuk mengakomodasi seluruh elemen masyarakat kota,” ujarnya.
Menurutnya perlu untuk mengoptimalisasi sektor informal ini, karena sektor informal masih menjadi tumpuan 70-80 persen penduduk perkotaan di Indonesia.
Bakti atau yang kerap disapa Bobi ini menyampaikan contoh kota pusaka seperti kawasan Malioboro Yogyakarta. Ia pun membahas dualistik kota yang ada di kawasan Malioboro yakni formal dan informal. Bobi mengingatkan bahwa Malioboro tak hanya berisi sektor formal yang berupa pertokoan, hotel dan mall. Namun juga, juga berisikan sektor informal atau yang berada di luar sistem pemerintahan, yaitu perkampungan dan pedagang kaki lima.
Bagi Bobi, sesuai dengan semangat SDGs, tepatnya new urban development agenda, yaitu memastikan bahwa lingkungan hidup tersebut inclusive, resilient, dan sustainability.
Dalam talkshow kali ini, juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Founder Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (PDA) Ir. Arya Abieta, M.Ars., Kurator Ikatan Arsitek Indonesia dan Co-founder M Bloc Group Yacobus Gatot Surarjo, Founder Sawahlunto Creative Forum Syukri Moonchak Sikumbang, dan Founder Komunitas Heritage Hero Cindy Shandoval.
Arya Abieta membuka penjelasannya dengan memaparkan bagaimana hubungan kondisi dampak pemanasan global ng dan hubungannya dengan bangunan yang kini mengonsumsi 36% dari energi dan bertanggung jawab 39 % pada emisi karbon. Hal ini pun berhubungan dengan tujuan penurunan energi bangunan, dalam hal ini cagar budaya melalui passive cooling dan microclimate.
Menurutnya, tantangan terbesar cagar budaya bukanlah hal tersebut, namun pemilik baru dari cagar budaya tersebut. “Tantangan terhadap cagar budaya adalah pemilik baru, karena pemilik baru tidak ada ikatan historis terhadap bangunan itu.”
Arya pun menjelaskan tentang manfaat manfaat apa yang bisa didapat dari bangunan gedung cagar budaya. Ia pun menjelaskan beberapa contoh bangunan-bangunan dari zaman peninggalan Hindia Belanda. Bangunan-bangunan tersebut dinilai akrab dengan iklim melalui passive cooling dan microclimate.
Selanjutnya, Yacobus Gatot Surarjo, atau kerap disapa Jacob ini menjelaskan tentang “Adaptive Reuse x Placemaking”. Ia menceritakan bagaimana ia terinspirasi dari tempat yang sebelumnya terbengkalai yang kemudian dimanfaatkan menjadi sebuah tempat yang dapat dimanfaatkan untuk hal lain dari berbagai tempat di dunia yang kemudian ia adaptasikan untuk mengaktivasi M bloc. Selanjutnya, ia pun menceritakan sejarah singkat aktivasi Block Space, yang berawal dari perumahan Peruri yang terbengkalai, sebelum dijadikan M Bloc Space.
Syukri sebagai founder Sawahlunto Creative Forum, menyampaikan apa yang ada di Sawahlunto, yang kini juga termasuk salah satu kota pusaka dunia. Tema yang ia bawakan ialah, “Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Solusi Kreatif Berbasis Ekonomi, Lestari, dan Pelestarian Budaya Lokal di Kota Sawahlunto.”
Ia menjelaskan sedikit mengenai sejarah Sawahlunto, yang awalnya pusat batubara hingga menjadi salah satu warisan dunia UNESCO. Ia pun menambahkan potensi-potensi apa saja yang ada di Sawahlunto, baik berupa warisan yang tangible maupun intangible. Kemudian dijelaskan pula adanya rebranding Sawahlunto, yang kini disebut PUSAKOTA, yang berarti Pusako Kota (Sawahlunto Pusaka), dengan harapan bahwa dengan bantuan seluruh pihak pusaka ini agar tetap lestari.
Syukri memaparkan tentang tantangan dan strategi apa yang pernah dihadapinya dalam pemajuan kebudayaan. Strategi yang ia lakukan meliputi perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan hasil pemetaan kebudayaan yang sudah didapatkan sebelumnya.
Pembahasan terakhir, oleh Cindy Syandoval yang merupakan alumnus Arekologi, Fakultas Ilmu Bahasa, Universitas Gadjah Mada yang membahas bagaimana peran serta kaum muda dalam memberdayakan kota Siak, Provinsi Riau. Sesuai dengan slogan Siak saat ini, “Siak ASIK (Alam, Sejarah, Inovasi dan Kolaborasi)”.
Cindy menceritakan bagaimana pergeseran kekayaan atau modalitas Siak, yang awalnya hanya berfokus pada sumber daya alam (SDA) yang berupa minyak dan gas, beralih ke arah modalitas lain yang berupa kekayaan warisan budayanya. Latar belakangnya sebagai arkeolog, membantunya untuk menemukan hal-hal menarik di balik artefak atau peninggalan yang ada di Siak. “Kita pun membuat Heritage Hero sebagai penyambung antara masyarakat lokal dan juga akademisi dan peneliti terkait warisan budaya yang ada,” jelasnya.
Selanjutnya Cindy melakukan mapping terhadap potensi bangunan dan sumber daya manusia (SDM) yang ada di sekitar Siak. Peran SDM ini penting karena menurutya yang akan menggerakkan potensi yang ada ialah manusia. “Jangan lupa yang akan menggerakkan itu adalah manusianya. Kalau potensi itu ada terus sebenarnya, tinggal manusianya mau atau tidak,” jelasnya.
Ia pun kemudian mulai membuat, event dengan potensi heritage yang ada, yang kemudian berkembang menjadi konsorsium, Sentra Kreatif Lestari Siak. Konsorsium ini pun menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Siak, yang berlanjut dengan tantangan untuk mengaktivasi bangunan terbengkalai untuk dibuat creative hub. Tak hanya itu, ia pun membuat paket perjalanan yang mengulik nilai pusaka dari potensi kuliner tradisional yang ada di Siak dari arsip-arsip lama yang ia kumpulkan dan bangunan heritage yang sudah diaktivasi.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Shutterstock