Dini hari tadi Senin (22/6) pukul 02.33 WIB telah terjadi gempa bumi di selatan Pacitan dengan besaran magnitudo M5 dan kedalaman 63km (BMKG). Gempa ini cukup keras dirasakan oleh masyarakat di Yogyakarta dan sekitarnya dan membangunkan penduduk yang sedang tertidur lelap. Skala MMI II-III ini dirasakan oleh penduduk hingga di Tulungagung, Nganjuk dan Banjarnegara.
Peneliti dari Departemen Teknik Geologi UGM, Dr. Gayatri Indah Marliyani, mengatakan jika diilihat dari lokasi dan kedalamannya, gempa ini bersumber dari dalam lempeng yang menunjam, masih menjadi bagian dari sistem subduksi di selatan Jawa.
“Istilah geologi nya disebut sebagai gempa intraslab,”kata Gayatri, Senin (22/6).
Dilihat dari mekanismenya, kata Gayatri, gempa tadi pagi memiliki pergerakan turun, yang terjadi akibat respons batuan terhadap gaya tarikan lempeng samudera ke bawah. Tipe gempa seperti ini biasanya dapat dirasakan secara luas.
Dikarenakan terjadi cukup dalam, pada daerah bertekanan besar dan bersuhu cukup tinggi, batuan di daerah tersebut bersifat relatif plastis. Artinya, setelah mengalami deformasi, batuan mudah kembali ke posisi awal. Hal ini yang mengakibatkan tidak terjadinya gempa susulan. Gempa dengan tipe seperti ini juga biasanya tidak menyebabkan tsunami karena tidak mengakibatkan perubahan dasar laut secara signifikan.
Menurut Staf Ahli Pusat Studi Bencana UGM ini selain gempa bumi tipe intraslab seperti yang terjadi tadi pagi, di selatan Pacitan juga sering terjadi gempa akibat sesar sesar naik yang banyak dijumpai pada zona tumbukan lempeng. Gempa-gempa ini biasanya terjadi di daerah yang di dalam istilah geologi disebut sebagai zona prisma akresi dan cekungan muka busur. Jika dilihat dari peta kedalaman bawah laut (batimetri), terlihat bahwa cekungan muka busur ( berupa depresi di lepas pantai) di selatan Pacitan secara drastis menyempit dibandingkan dengan di selatan Yogyakarta. Hal ini mengindikasikan bahwa di selatan Pacitan, ada tekanan yang lebih kuat. Hal ini diakibatkan oleh adanya morfologi tinggian (tonjolan) di dasar laut yang ikut terseret masuk ke zona subduksi di daerah ini, yang bisa diamati dengan baik dari data batimetri.
Adanya morfologi-morfologi tinggian ini menjadi ‘ganjalan’ dari proses subduksi yang terjadi sehingga menyebabkan pergerakan lempeng menjadi tertahan. Energi yang tertahan ini kemudian dilepaskan melalui sentakan tiba-tiba yg ditandai oleh peristiwa gempa bumi. Seringnya gempa berskala kecil (M5-6) di daerah ini sebenarnya bisa jadi merupakan pertanda baik, bahwa energi yang tertahan dilepaskan secara bertahap.
“Akan tetapi, untuk mengetahui berapa sebenarnya energi yang masih tersimpan dan yang sudah dilepaskan, harus terus dilakukan penelitian secara seksama dan terus menerus,”urainya.
Melihat kondisi ini masyarakat diiimbau untuk tidak panik, mengikuti imbauan yang berwenang dan tidak termakan oleh isu-isu menyesatkan dari sumber yang tidak jelas. Selain itu, masyarakat juga dihimbau untuk terus meningkatkan kesadaran bahwa kita tinggal di daerah rawan gempa bumi sehingga pengetahuan-pengetahuan mengenai kondisi daerah tempat tinggal perlu dipahami dengan baik, untuk mengetahui adanya ancaman bahaya yang mungkin terjadi dan mengantisipasinya.
Penulis: Satria
Foto: Cnnindonesia.com