Presiden Prabowo Subianto menargetkan zero poverty atau tingkat kemiskinan 0% pada 2045 serta pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam lima tahun mendatang. Target ini menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional yang membutuhkan strategi yang matang, terukur, dan inklusif. Kondisi perekonomian Indonesia yang cukup baik saat ini, dengan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2024 sebesar 5,05% dan inflasi yang terkendali di angka 2,12% year-on-year, membuat peluang untuk mencapai target tersebut tetap ada meskipun harus menghadapi sejumlah tantangan kedepannya.
Mengingat neraca perdagangan Indonesia yang mengalami surplus dan telah berlangsung selama lebih dari empat tahun, Guru Besar Bidang Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, mengingatkan penting untuk mengeksplorasi sektor-sektor baru yang dapat mendukung diversifikasi ekspor Indonesia sekaligus mendorong peningkatan daya saing produk nasional di pasar global. Hal ini akan terkait dengan peningkatan investasi dan bagaimana kebijakan ekonomi dapat memfasilitasi arus investasi yang lebih besar. “Salah satu sektor yang bisa di-boost adalah pertanian, meskipun menurut data Kementerian Pertanian sepanjang 2019-2023 neraca perdagangan sektor tersebut selalu defisit,” ungkap Masyhuri diwawancara secara daring, Kamis (24/10).
Masyhuri yang beberapa waktu lalu menghadiri undangan Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi untuk mengikuti Focus Group Discussion (FGD) dalam membahas strategi pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia ini, membedah beberapa kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan secara optimis. Ia menjelaskan, pembangunan pertanian memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah, baik secara langsung dalam menopang pertumbuhan ekonomi melalui kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Bahkan, riset secara empiris telah menunjukkan bahwa pertumbuhan produktivitas di sektor pertanian dapat mengurangi kemiskinan. “Jadi kita harus merekonstruksi strategi penanggulangannya, bukan hanya sekedar memberikan bantuan sosial saja,” tutur Masyhuri
Mengingat sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbanyak, diperlukan pengembangan sistem agribisnis yang terpadu. Selain itu, sistem pendidikan dan pelatihan keterampilan dapat diubah untuk menyiapkan tenaga kerja yang relevan dengan tuntutan industri masa depan. Pendidikan vokasi, profesi, dan training bersertifikasi perlu dilakukan juga di bidang pertanian tanpa mengabaikan pendidikan konvensional. “Pemanfaatan IoT (internet of thing) di kurikulum sekolah pertanian bisa dimasukkan agar semakin banyak kaum muda yang mau terlibat di sektor ini,” ujarnya.
Selanjutnya, Masyhuri juga menekankan pada pentingnya peningkatan harga produk pertanian bagi komoditas yang memiliki nilai ekspor, karena kenaikan tersebut berimbas pada meningkatnya pendapatan petani. Salah satu cara yang bisa digunakan adalah dengan mengembangkan komoditas unggulan, karena tiap daerah atau desa pasti memiliki karakteristik dan komoditas yang berbeda. Komoditas ini yang kemudian ditambahkan nilainya (added value) yang selanjutnya dikembangkan dan dijamin keberlanjutannya melalui Usaha Mikro, Kecil dan menengah (UMKM). “Jadi ada sinergitas antara pertanian dan industri, kita dorong UMKM ini dengan stimulus Keynesian, caranya bisa dengan pembebasan pendaftaran dan pajak, serta bantuan kemudahan pembiayaan atau kredit dengan bunga murah, dan insentif-insentif lainnya,” ujar Masyhuri.
Sedangkan terkait dengan target pertumbuhan ekonomi 8%, ia menyebutkan masih bisa dicapai (attainable growth), meskipun dalam rentang 1961-2023 pertumbuhan ekonomi rerata Indonesia hanya 5,11%. Menurutnya, stimulus Keynesian paling potensial digunakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. “Stimulus ini adalah kebijakan fiskal pemerintah untuk menjaga daya beli dan menggerakkan permintaan,” ungkap Masyhuri. Ia mencontohkan tax holiday bagi UMKM ataupun perusahaan baru, start up, serta perusahaan kecil akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena selain membuka lapangan kerja, juga akan berdampak pada berkurangnya pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
Selanjutnya, upaya peningkatan produksi juga perlu dibarengi dengan modernisasi pertanian secara komprehensif melalui hilirisasi dan teknologi yang tidak terhenti pada produksi suatu produk saja, tetapi hingga pengolahan dan manufacturing, pemasaran dan jaringannya, sampai dengan penyediaan sistem penunjang seperti sistem pergudangan, asuransi, dan bank pertanian. “Contohnya pemanfaatan sagu, selain sebagai bahan baku industri makanan atau minuman, harus bisa menjadi bahan baku bagi industri lain. Jadi produk turunannya sudah bisa di level ke-6 dan ke-7,” jelas Masyhuri yang juga berperan sebagai Penasehat Asosiasi Agribisnis Indonesia (AAI).
Masyhuri juga menekankan bahwa hilirisasi komoditas pertanian tidak akan berarti tanpa ditopang oleh negosiasi dagang yang kuat. Hal ini dikarenakan negara lain bisa saja mengembangkan sejumlah komoditas pertanian yang sama dengan Indonesia sehingga akan melemahkan daya saing produk dalam negeri. “Peran pemerintah untuk membuat perjanjian perdagangan bebas tarif 0% dengan negara tujuan ekspor potensial,” tutupnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Freepik