Tim peneliti Universitas Gadjah Mada berhasil menginovasikan batu bara kalori rendah yang tidak dapat digunakan sebagai feed coal di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi bernilai guna tinggi. Produk inovasi ini bernama Gamahumat yang mampu berfungsi sebagai pembenah tanah atau soil stabilizer. Gamahumat adalah senyawa humat berupa asam humat dan asam fulvat yang berasal dari ekstraksi batu bara dengan kalori rendah.
Ketua tim peneliti dibalik Gamahumat adalah Prof. Ferian Anggara. Guru besar termuda Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM. Produk pembenah tanah yang dikembangkannya ini diklaim mampu menjadi pendamping pupuk sehingga proporsi penggunaan pupuk dapat dikurangi. Sebagai contoh kasus, dalam demplot padi yang diujicobakan di kawasan persawahan Bimomartani cukup menggunakan 15% NPK dan urea dari jumlah yang seharusnya. Ia menyebutkan, menggunakan prosentase 15% Gamahumat, memiliki andil 80% hasil yang seperti full NPK-urea sehingga pupuk bisa dikurangi menjadi 15% sampai 20% dari takaran normal. “Hasil panen dapat mendekati layaknya produktivitas padi yang sepenuhnya menggunakan NPK dan urea,” kata Ferian kepada wartawan, Rabu (30/10).
Ferian menyatakan bahwa Indonesia mempunyai sumberdaya batu bara kalori rendah mencapai 30%. Untuk menjamin ketersediaan bahan baku, Ferian menggandeng PT. Bukit Asam yang memiliki batubara peringkat rendah dan teruji sesuai untuk memproduksi Gamahumat. Kerjasama ini telah terjalin sejak 2018 dengan pemberian research funding. Pada tahun 2023, PT. Bukit Asam memberi dana padanan dalam skema matching fund Kedaireka untuk melakukan analisis laboratorium guna mendapat proses ekstraksi yang paling optimal dan membuat prototipenya. “Saat ini, alat tersebut mampu memproduksi 20 liter senyawa humat basah per hari dari 5 kg batubara umpan,” katanya.
Ferian mengaku dirinya tengah melakukan penelitian Gamahumat ke level pilot project. Rencananya, tahun ini pihaknya akan melakukan fabrikasi alat di Jogja. Kemudian, tahun 2025 akan dioperasikan di Peranap, Riau, tepatnya di lokasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Bukit Asam yang mempunyai cadangan batu bara mencapai 600 juta ton. Nantinya, pabrik ini akan berskala komersial dengan kemampuan produksi mencapai 60 ton senyawa humat per tahun. ”Obsesi kami sebagai peneliti adalah bagaimana kami bisa mengoptimalkan pemanfaatan hasil pertambangan sehingga memiliki nilai tambah tinggi dengan konsep ekonomi sirkular,” tuturnya.
Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Tinggi (LPDP) dengan skema penelitian INSPIRASI juga mendukung pengembangan produk ini dengan memberikan pendanaan selama 3 tahun hingga tahun 2026 mendatang. Selain Gamahumat, dukungan ini dialokasikan juga untuk mengembangkan inovasi yang dapat dikolaborasikan dengan Gamahumat, yakni produk nanosilika berukuran kurang dari 10 mikron yang dibutuhkan tanaman dengan keunggulan mudah untuk diserap. “Penggabungan produk ini menyasar pada lahan yang kekurangan unsur hara agar dapat ditanami dan ditingkatkan produktivitasnya,” terangnya.
Selain itu, kata Ferian, ada pula produk hidrogel yang digunakan sebagai media tanam dengan diberi air di dalamnya, asam humat, dan nanosilica. Hidrogel ditempatkan di lahan yang sulit air seperti lahan reklamasi tambang atau tadah hujan sehingga awal masa tanam tidak perlu rutin disiram. “Saat akar tanaman sudah kuat, tanaman dapat mencari air secara mandiri. Ketiga produk itu dihasilkan sebagai salah satu luaran penelitian yang didanai LPDP Inspirasi dengan topik circular economy,” ujarnya.
Ferian berharap, produk-produk inovasi yang diciptakan oleh peneliti yang tergabung dibawah di UGRG (Unconventional Geo Resources Research Group) FT-UGM mampu mendukung terciptanya swasembada pangan yang sejalan dengan misi yang digaungkan oleh pemerintah.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson