Pilkada serentak yang akan berlangsung pada 27 November mendatang merupakan kemajuan demokrasi sebagai langkah upaya melakukan efisiensi biaya, menciptakan stabilitas politik dan perencanaan pembangunan yang lebih baik. Dengan penataan pemilihan serentak menjadikan masa jabatan Presiden dan DPR di tingkat nasional hampir serentak dengan jabatan para Kepala Daerah membuat perencanaan pembangunan akan lebih terhubung.
“Beda kalau misalkan masa pemilihan Kepala Daerah itu beda-beda. Nanti Presidennya sudah 3 tahun, ada Gubernur baru tentu perlu adaptasi lagi dengan program pemerintah pusat. Belum nanti kalau sudah 4 tahun ada yang baru. Jadi itu akan mengganggu stabilitas pembangunan. Jadi sekarang sebenarnya model yang ideal yang sudah dilakukan untuk membuat pemilihan nasional dan pemilihan di daerah itu jaraknya tidak begitu lama, di tahun yang sama,” kata Dosen Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UGM, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A, dalam sekolah wartawan, kamis (7/11) di ruang Fortakgama .
Peneliti Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (Pandekha) FH UGM ini menyebut ada 12 isu kerawanan yang patut diwaspadai dalam Pilkada kali ini. Salah satu bentuk kerawanan paling tinggi yang biasa dihadapi di Pilkada adalah soal netralitas ASN dan penyelenggara Pilkada, serta maraknya praktik politik uang.
Dalam pandangan Yance praktik politik uang sebagai awal mula dari korupsi, karena ketika mulai masuk pilkada sudah berinvestasi dengan jumlah uang cukup besar sehingga dipastikan bagi mereka yang terpilih akan berpikir bagaimana caranya uangnya akan kembali. “Proses transaksional yang terjadi kemudian dalam konteks demokrasi elektoral di Indonesia. Awal-awal kita nggak akan membayangkan seperti ini, tapi itulah yang terjadi kemudian, dan banyak kepala daerah yang terjerat korupsi,” ucapnya.
Meski pilkada serentak saat dianggap hasil kemajuan dari demokrasi pasca reformasi 1998, namun berpendapat tidak menutup kemungkinan pilkada selanjutnya rakyat tidak lagi secara langsung memilih calon pemimpinnya namun dikembalikan ke lembaga legislatif. Pasalnya, aturan konstitusinya memang secara tersurat menyatakan tidak harus memilih langsung. Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar menyebut gubernur, bupati, wali kota dipilih secara demokratis. “Proses demokratis saat ini ditafsirkan sebagai pemilihan langsung. Padahal bisa aja nggak langsung, dan yang nggak langsung pun juga tetap bisa demokratis. Artinya dipilih lagi oleh para anggota dewan misalkan, itu juga bisa terjadi,” terangnya
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie