Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden (PP) untuk menghapus utang pelaku Usaha Kecil, Mikro, dan Menengah (UMKM) bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya. Berbagai pihak mendukung langkah Prabowo ini, seperti Menteri Pertanian dan jajaran legislator DPR. Akan tetapi, bagaimana kebijakan populis ini jika dipandang melalui kacamata akademisi?
Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A tak menampik bahwa program ini akan membawa kebermanfaatan. Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi oleh petani dan UMKM lebih dari pada itu. “Keputusan ini hanya memotong salah satu rantai permasalahan, belum seluruhnya. Pemerintah juga perlu menyelesaikan dari root cause secara struktural,” kata Bambang Hudayana, Kamis (14/11).
Bambang menegaskan, peraturan di atas kertas ini perlu menilik pada realita di lapangan. Menurut hematnya dari sisi para petani, mayoritas usaha tani di Pulau Jawa berada dalam skala kecil atau biasanya disebut dengan petani gurem. Utang yang membelenggu para petani gurem ini tidak sampai menyentuh angka ratusan juta, sebatas untuk modal dan biaya operasional saja. Sayangnya, jumlah petani gurem ini sangat banyak, bahkan Bambang menaksir hingga jutaan orang. Tidak hanya sampai di situ, petani gurem ini adalah golongan yang justru jarang tersentuh tangan pemerintah. “Susah bagi pemerintah untuk menyasar mereka dengan jumlah yang begitu banyak dan tidak terdata. Susah pula bagi golongan itu karena tidak mendapat keadilan,” tandasnya.
Menurut Bambang, sebagian besar hutang yang dimiliki oleh petani dan nelayan ini seringkali terdapat di lembaga-lembaga informal. Menurut hasil studi yang ia cermati, para pelaku usaha kecil justru lebih patuh membayar hutang dengan kredit jangka pendek. Sebagai contoh, sebagian dari mereka memilih berhutang barang seperti pupuk dan saat musim panen akan diangsur. Mayoritas dari mereka melakukan hutang pada kelompok usaha tani atau koperasi. “Sangat sedikit yang berutang di lembaga resmi dalam jumlah besar untuk pertanian dengan skala sekecil itu,” ungkapnya.
Bambang mendorong agar petani kecil bisa lebih mendapatkan akses dukungan pemerintah mengingat jumlahnya paling banyak dan paling rentang menghadapi masalah kesejahteraan. Menurutnya, ujung tombak pertanian berada pada irigasi yang dijamin bagus, pupuk murah dan aksesibel, serta bibit yang mudah. Bantuan yang lebih signifikan seperti demikian atau penambahan subsidi akan sangat membantu dan dinilai lebih mampu menyentuh golongan kecil. Ia juga mendesak agar pemerintah harus segera melakukan pendataan secara menyeluruh dan memanfaatkan hasil riset kalangan akademisi.
Selain itu, strategi tertentu perlu ditetapkan agar mereka dapat termonitor dan terfasilitasi keberlanjutan usahanya. “Penyelamatan petani, nelayan, dan UMKM lain bukan hanya perihal hapus utang, lebih kompleks dan perlu dituntaskan dari dasar.”
Bambang mendetailkan bahwa implementasi bantuan akan sangat berguna bila menyasar pada target yang tepat. Bagi Bambang, penerima bantuan yang layak adalah mereka yang terkena musibah, seperti contohnya pengepul susu sapi di Boyolali bernama UD Pramono. Usaha dagang ini memiliki tunggakan pajak sebesar Rp 671 juta akibat pandemi Covid-19. Apabila gulung tikar, para peternak sapi perah akan kehilangan tempat untuk memasok hasil susunya. “Yang demikian ini perlu dibantu. Akan tetapi itu bukan peternaknya. Peternak sebagai golongan kecil mungkin lebih menjerit. Maka dari itu, perlu diselesaikan dari akarnya,” ungkapnya.
Tidak berhenti sampai di situ, Bambang mengimbau agar praktik dari rencana ini perlu dikawal. Proyek bantuan sangat rentan dengan fenomena salah sasaran dan menjadi sarang korupsi. Dengan anggaran yang besar, para oknum dari hulu ke hilir bisa saja melancarkan aksi kotornya. Jika ditilik dari sisi penerima, implikasi yang ditimbulkan dapat berupa kecanduan dan ketergantungan. “Proyek ini cukup sekali saja, tidak perlu dirutinkan berulang-ulang untuk menghindari terciptanya mental mengemis ke pemerintah,” tambahnya.
Ia menegaskan kembali, usaha yang paling tepat adalah menciptakan iklim usaha yang baik dan menjangkau pelaku usaha sektor kecil seperti akses modal mudah hingga pemasaran mudah. “Pemerintah harus segera merambah dan berubah arah. Jangan charity approach (Pendekatan berdasarkan belas kasihan), tetapi lebih kepada penguatan infrastruktur dan kelembagaan bisnis sehingga memperkuat usaha,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kabarbisnis dan Kompasiana