Pernyataan pailit yang dikeluarkan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex pada 21 Oktober 2024 silam, menjadi peringatan bahwa Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional sedang menunjukkan tren sunset atau meredup. Padahal industri TPT sempat mengalami pertumbuhan positif sebelum pandemi Covid-19 melanda. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, terhitung sebanyak 30 perusahaan sudah tutup dalam dua tahun terakhir, sementara pabrik yang masih beroperasi hanya bekerja pada level kapasitas 45-70% saja. Bahkan, lebih dari 15.000 pekerja tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak Januari hingga September 2024.
Menanggapi kisruh tersebut, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Boyke Rudy Purnomo, S.E., M.M., Ph.D., CFP, menuturkan bahwa tidak heran jika badai PHK di industri tekstil berada di depan mata. Menurut Boyke, tren penurunan tersebut ditimbulkan dari kontraksi permintaan pasar global, terutama setelah terjadi perang antara Rusia dan Ukraina. Tekanan diperparah dengan makin masifnya impor tekstil, khususnya dari Tiongkok yang memiliki harga super murah. “Relaksasi impor akibat Permendag 8/2024 ini membuat pelaku usaha tekstil di Indonesia seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula. Gagal menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” tutur Boyke, Senin (18/11).
Boyke lalu menjelaskan secara singkat awal mula PT Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang. Menurut putusan tersebut, Sritex dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran kepada PT Indo Bharat Rayon, salah satu debitur, sebesar 100 milyar rupiah. Dalam perspektif ekonomi, pailit terjadi ketika perusahaan tidak memiliki kemampuan keuangan untuk membayar kewajiban kepada debitur. “Tapi ternyata kreditur Sritex tidak hanya PT Indo Bharat Rayon saja. Sritex memiliki hutang ke 28 bank nasional dan internasional senilai USD 809,9 juta atau setara dengan 12,6 triliun rupiah, dan hutang ini sifatnya jangka panjang,” jelasnya.
Sementara, total akumulasi hutang jangka panjangnya sendiri menurut laporan keuangan perusahaan per semester I tahun 2024 mencapai USD 1,47 miliar (22,8 triliun rupiah). Ditambah hutang jangka pendek sebesar USD 131,4 juta (2 triliun rupiah), sehingga total liabilitas perusahaan berkisar di angka 25 triliun rupiah. Pada situasi ini, perusahaan mengalami defisiensi modal sebesar USD 980,56 juta atau minus 15,2 triliun rupiah. Bahkan, kini Sritex sebagai raksasa tekstil terancam delisting dari bursa saham karena kinerja keuangan dan operasional yang tidak optimal dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Hal ini menunjukkan nilai liabilitas perusahaan jauh lebih besar dari asset yang dimiliki. “Nah, dari sini terlihat bahwa sumber pailitnya PT Sritex adalah karena besarnya nilai hutang. Besar pasak daripada tiang,” ungkapnya.
Di banyak kesempatan, pemerintah sebetulnya menegaskan akan melakukan upaya penyelamatan PT Sritex sebagai komitmen untuk melindungi industri padat karya. Memang bukan dalam bentuk skema bailout (dana talangan), meskipun kegiatan ekspor-impor terhambat akibat putusan pailit, namun PT Sritex tetap diizinkan beroperasi. Alih-alih untuk menjaga citra produk Indonesia di mata konsumen global, menurut Boyke, wacana tersebut terdengar populis. “Tidak ada yang salah dengan opsi pemberian izin, namun perlu diingat juga perusahaan sedang dihadapkan pada situasi mis-manajemen khususnya aspek keuangan, di sisi lain situasi saturasi pasar dan ketidakmampuan bersaing di pasar domestik juga jadi kendala ya,” ucap Boyke yang juga menjabat sebagai Sekretaris Departemen Manajemen FEB UGM.
Kini, selain pengajuan kasasi terkait putusan pailit yang masih belum mendapat tanggapan dari Mahkamah Agung, PT Sritex tengah menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan bahan baku yang diprediksi akan habis dalam tiga minggu ke depan. Sebanyak 2.500 karyawan telah diliburkan sementara akibat krisis bahan baku tersebut. Walaupun belum ada keputusan untuk PHK, dan hak pekerja seperti gaji masih dibayarkan oleh perusahaan, namun jika tidak ada keputusan segera dari kurator dan hakim pengawas untuk izin keberlanjutan usaha, jumlah karyawan yang diliburkan akan terus meningkat. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah nantinya akan menjadi tolak ukur bagi keberlanjutan industri padat karya Indonesia di masa yang akan datang. “Untuk jangka pendek, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya soft landing bagi pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan,” saran Boyke.
Upaya tersebut dapat berupa menyiapkan pekerjaan baru bagi karyawan PT Sritex atau menyiapkan keterampilan yang memadai bagi mereka yang mau berwirausaha berikut insentif permodalannya. Tidak kalah penting, pemerintah juga perlu berjaga dengan program ‘penyelamatan pendapatan’ selama masa transisi pekerja memperoleh pekerjaan baru atau menjadi wirausaha.
Sedangkan untuk solusi jangka panjang, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan impor tekstil. Hal ini bertujuan agar pemain lokal memiliki ruang yang memadai untuk memasarkan produknya. “Relaksasi impor perlu ditinjau ulang ya. Nah, selain yang resmi, pemerintah juga perlu membereskan beberapa kasus impor tekstil ilegal yang terbukti membuat persaingan yang tidak adil dalam industri pertekstilan nasional,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Ilustrasi: Freepik