Kasus Kekerasan Seksual (KS) menjadi persoalan yang perlu ditangani secara serius di lingkungan di perguruan tinggi, selain perundungan dan intoleransi. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) terungkap bahwa sepanjang tahun 2023 terdapat 13.156 kasus KS di lingkungan kampus di seluruh Indonesia. Sungguh ironi mengingat kampus seharusnya memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi mahasiswa sehingga bisa menjalani proses belajar dengan baik. Kini, di tengah semakin luasnya jangkauan internet, canggihnya perkembangan dan penyebaran teknologi informasi, serta semakin populernya penggunaan media sosial, telah menghadirkan bentuk-bentuk baru KS seperti Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Penyebaran Konten Intim Non-Konsensual atau sering disebut Non-Consensual Intimate Images Violence (NCII).
Dengan adanya lonjakan kasus KBGO dan Konten intim non konsensual di kalangan mahasiswa, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Gadjah Mada terus melakukan upaya pencegahan dan sosialisasi. Selah satunya lewat layanan whistle blowing untuk mengakomodasi laporan sivitas akademika.
Kepala Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu UGM, Dr. dr. Andreasta Meliala, mengatakan layanan whistle blowing dibuka untuk mengakomodasi laporan sivitas akademika yang mengalami kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan norma, kebijakan, dan nilai-nilai ke-UGM-an. “Parameter KS-nya itu, ketika kita tahu ada kasus tapi tidak melaporkan. Nah, agar bisa melaporkan dengan benar, kita harus memiliki insight dan pengetahuan yang cukup dulu mengenai terminologi-terminologi terkait KBGO dan NCII ini,” tutur Andreas dalam pelatihan pencegahan KBGO dan NCII pada Rabu (20/11) di Ruang Multimedia I, Gedung Pusat UGM.
Ketua Satgas PPKS UGM, Prof. Dra. Raden Ajeng Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., mengungkapkan terdapat 21 bentuk kekersan seksual di dalam kampus yang meliputi tindakan verbal, fisik, non-fisik, serta melibatkan teknologi informasi dan komunikasi. Bahkan, catcalling dari orang lain dan membuat diri tidak nyaman, juga masuk dalam kategori KS. Ironisnya, menurut Yayi, pelaku catcalling tidak merasa melakukan hal yang salah. Sebagian besar pelaku merasa jika catcalling hanyalah bentuk candaan bahkan keramahtamahan. “Padahal dari satu tindakan tersebut dapat menjadi langkah awal pelaku melakukan tindakan KS lainnya yang lebih berbahaya,” tuturnya.
Yayi kemudian mengingatkan pentingnya pencegahan KS secara individu, terlebih dalam banyak kasus, ketimpangan relasi kuasa menjadi penyebab utama terjadinya kasus KS. Pertama, jangan mudah percaya pada orang yang belum dikenal atau baru dikenal dalam waktu singkat. Selanjutnya sedapat mungkin hindari obrolan berbau porno. “Kita juga harus menjadi individu yang bersikap tegas, asertif, dan percaya diri, dan yang terpenting harus menguasai beberapa cara melumpuhkan lawan dan membawa alat perlindungan diri,” ucap Yayi.
Elok Santi Jesica, S.Pd., M.A, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) UGM menjelaskan terminologi KBGO sebagai segala bentuk kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi digital, khususnya internet, platform media sosial dan smart devices yang menargetkan gender atau jenis kelamin, dan orientasi seksual seseorang. “Pada KBGO, laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk menjadi korban, sehingga ruang aman di media sosial itu harus diwujudkan bersama, dan ingat apa yang terjadi di ruang online akan berpengaruh di ranah offline juga,” jelas Elok.
Elok juga menyinggung keberadaan media sosial yang menerapkan user generated content sehingga membebaskan pengguna untuk membuat konten berupa teks, foto, video, atau ulasan yang dibagikan ke media multiplatform. Jika tidak digunakan secara bijak, pengguna akan memiliki perilaku oversharing di ruang publik virtual yang sesungguhnya memiliki dampak negatif seperti ancaman keamanan. “Ada jejak digital dan kita tidak punya kontrol lagi akan data-data yang sudah kita unggah dan biasanya perusahaan platform media sosial akan sangat mudah menggunakan data itu. Tiba-tiba jadi punya pinjol, atau foto dan video kita digunakan untuk KBGO lainnya,” paparnya.
Kepala Kantor Keamanan, Keselamatan, Ketertiban, Kedaruratan dan Lingkungan (K5L), Arif Nurcahyo, S.Psi., MA menjelaskan mengapa KBGO dan NCII menjadi kejahatan yang harus ditangani serius. Selain adanya relasi tidak setara, kedua kekerasan tersebut menimbulkan trauma dan luka batin jangka panjang, menutup masa depan, hingga beresiko kematian. Ia mengingatkan agar individu mampu melindungi data pribadi, tidak menjadi pelaku yang ikut repost, reshare, dan memberikan komen buruk, dan segera mencari bantuan hukum ke lembaga terkait jika menjadi korban. “K5L lebih menekankan pada upaya untuk menyelamatkan korban atau mahasiswa sebagai aset universitas. Kami akan melakukan pendampingan sambil berkoordinasi dengan unit internal dan eksternal untuk penyelesaiannya,” jelas Arif.
Psikolog di Center for Public Mental Health, Fakultas Psikologi UGM, Nurul Kusuma Hidayati, S.Psi., M.Psi., Psikolog membagikan dampak yang harus dirasakan oleh korban KBGO. Secara sosial, korban akan membatasi bahkan menutup akses komunikasi baik online maupun offline sehingga ruang geraknya menjadi terbatas bahkan tertutup. Dampak akademis membuat performa akademik korban menjadi turun yang mengakibatkan keberlanjutan studi menjadi dipertanyakan. “Resiko psikologisnya bahkan sampai ada yang berperilaku melukai diri bahkan memiliki keinginan untuk bunuh diri. Memang media sosial ini memberikan banyak manfaat bahkan bisa menunjang produktivitas dalam bekerja, tapi sekali lagi bijak dan berhati-hatilah dalam menggunakannya,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie