![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2020/06/08062015915918052019276098.jpg)
Arus globalisasi telah membuat masyarakat mengalami degradasi dalam kehidupan. Dinamika globalisasi tidak membawa angin segar bagi kehidupan bangsa, tetapi justru membuat kehidupan rakyat Indonesia pada arah yang sebaliknya.
Kehadiran globalisasi menjadikan eksistensi Pancasila sebagai ideologi kebangsaan mengalami pergesaran nilai, dan tidak begitu dihayati oleh masyarakat. Berkurangnya pemahaman dan praktik nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini mestinya menjadi renungan banyak pihak untuk semakin menguatkan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, berharap banyak pihak membumikan Pancasila melalui Tri Pusat Pendidikan. Tri Pusat Pendidikan tersebut adalah keluarga, masyarakat, terutama kaum milenial dengan medsos dan sekolahan atau perguruan tinggi dengan aras pada revisi UU Sisdiknas.
“Keluarga itu terutama ibu-ibu harus diberi pendidikan Pancasila, meskipun dulu pada kegiatan-kegiatan PKK itu sudah ada unsur Pancasilanya,” ujarnya, pada Webinar Pancasila dan Kebudayaan: Membumikan Pancasila yang diselenggarakan Dewan Guru Besar UGM, Jumat (5/6).
Di tingkat masyarakat, terutama yang menyangkut generasi milenial, kata Sutaryo, membumikan Pancasila yang harus mendapat perhatian adalah soal media sosial (Medsos). Menurutnya, medsos harus dikuasai oleh negara, tidak bisa sebebas-bebasnya dalam penggunaan.
Sementara Tri Pusat ketiga adalah terkait di area sekolah atau perguruan tinggi. Pancasila di area ini harus digerakan sebab pendidikan merupakan aset negara di masa depan. Meskipun pendidikan sendiri sudah tidak seperti diharapkan sejak hadirnya globalisasi dan mengarah pada kepentingan pasar.
“Ini persis jaman Belanda dulu pendidikan dokter, insinyur untuk pasar Belanda. Kata Ki Hadjar Dewantara, kenapa kita pada pendidikan nasional karena reformasi revolusi pendidikan harus dan hanya untuk negara dan bangsa bukan untuk pangsa pasar,” tuturnya.
Prof. Djamaluddin Ancok, Ph.D menambahkan upaya membangun nasionalisme berdasar budaya bangsa adalah dengan menumbuhkan pemahaman dan kesadaran tentang faktor yang mengganggu tumbuhnya nasionalisme. Melalui pendidikan di rumah tangga, masyarakat dan sekolah diharapkan menumbuhkan semangat kebanggaan pada bangsa dengan tetap hormat pada bangsa lain.
Menurutnya, faktor global menjadi penyebab melemahnya nasionalisme, sementara Idonesia adalah sebuah negara yang masyarakatnya memiliki sifat kolektifitas yaitu kebersamaan dan gotong royong bukan masyarakat yang individualistik yang menjadi ciri khas bangsa barat. Sifat masyarakat yang kolektif ini telah digusur oleh konsep globalisasi dengan pendekatan akar budaya yang individualistik jauh dari semangat gotong royong.
“Globalisasi dengan jargon pasar bebas telah diadopsi oleh negara Indonesia tanpa memikirkan konteks budaya. Globalisasi pada dasarnya adalah upaya negara kapitalis untuk menjadikan negara dunia ketiga sebagai pasar produk mereka dan menjadikan kekayaan negara dunia ketiga sebagai sumber bahan produksi, bahan tambang dan tenaga kerja yang murah,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Radarkudus, Jawa Pos