Konflik dan resolusi konflik yang pernah dan sedang terjadi di Indonesia perlu mendapat perhatian untuk diperoleh pembelajaran bagi pembangunan perdamaian dan pengembangan demokrasi di masa depan. Hal itu disampaikan oleh Muhammad Jusuf Kalla, selaku Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 menceritakannya pengalamannya dalam melakukan resolusi konflik, terdapat banyak konflik di Indonesia yang awalnya disangka sebagai konflik SARA ternyata sebenarnya adalah konflik yang disebabkan oleh adanya ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat. Salah satunya contohnya adalah konflik GAM di masa lalu.
Menurut Kalla, Konflik ini sebenarnya disebabkan oleh adanya ketidakpuasan terhadap Pemerintah Pusat, karena Aceh itu sebenarnya kaya sumber dayanya, akan tetapi Aceh hanya mendapatkan sedikit dari sumber daya tersebut. “Gam di Aceh, dimulai tahun 76. Kita tahu semua, juga tidak puas kepada pusat. Kenapa? Aceh, Aceh itu kaya dengan sumber daya alam, gas buminya. Tapi kenapa yang Aceh dapat sedikit? Tidak maju Aceh, padahal gasnya luar biasa di Lhokseumawe itu. Jadi banyak orang mengatakan itu ingin syariah itu tidak. Tidak puas kepada kebijakan,” jelas Kalla saat menjadi menyampaikan pidato kunci dalam Seminar Nasional dengan tajuk “Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia”, Kamis (28/11)..
Kalla menambahkan bahwa dalam resolusi konflik vertikal seperti di Aceh, Pemerintah haruslah memandang pihak yang berkonflik sebagai pihak yang setara, bukan sebagai musuh dari negara. “Perundingan harus menghormati satu sama lain itu harus” ujar Kalla.
Menanggapi pernyataan Kalla, Prof. Hamid Awaluddin, S.H., LL.M., M.A., Ph.D. sebagai salah satu perancang resolusi konflik di Aceh bersama Kalla menyetujui bahwa awal dari konflik di Aceh bukanlah diawali oleh agama akan tetapi ketidakadilan yang mereka alami, bahwa sebenarnya pelaksanaan syariat Islam sebenarnya tidak diminta oleh orang Aceh namun ditawarkan oleh Pemerintah. “Salah satu anggota perundingan saya mengatakan “Apa lagi yang anda inginkan. Kita sudah kasih syariat Islam kan, waktu Gusdur? Mereka dari juru runding GAM mengatakan “Anda salah. Kami tidak pernah minta syarat Islam tapi anda yang berikan ya kami terima”. Jadi, bukan soal agama. Soal ketidakadilan,” ungkap Hamid.
Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed.,Sp.OG(K)., Ph.D., menyampaikan pentingnya pengalaman resolusi konflik dan keterkaitan antara pilihan strategi resolusi konflik sebagai upaya membangun perdamaian dan pengembangan demokrasi.
Selain dari pidato dari Jusuf Kalla di Seminar kali ini juga diadakan sebuah Bincang Perdamaian antara dua tokoh ternama yang sering berkontribusi dalam penyelesaian konflik yaitu Sosiolog UGM Lambang Trijono, Ph.D., dan Direktur Institut Dialog Antar-iman (DIAN) Interfidei, Yogyakarta, Dr. A. Elga J. Sarapung. Di sesi ini kedua pembicara akan membahas terkait cara penyelesaian konflik yang paling efektif. Di sesi diskusi ini, Lambang turut menyetujui apa yang sebelumnya diungkapkan oleh Kalla bahwa dalam sebuah resolusi konflik kita harus memandang pihak yang berkonflik secara saling menghormati dan mengikutsertakan mereka dalam proses penyelesaian konflik yang bersifat partisipatoris. “Mereka pihak-pihak yang berkonflik itu juga dilibatkan dalam menentukan proses serta hasilnya. Kalau boleh dikatakan, pendekatan seperti itu disebut yang sudah umum ya disebut partisipatoris atau pendekatan yang demokratis. Mereka merasa memiliki, dan mereka itu ada kemandirian dan keberlanjutan atau disebut dalam bahasa Inggris self sustaining peace process,” ujar Lambang
Sedangkan Elga menjelaskan dari perspektif lain bahwa dalam pembuatan sebuah resolusi Konflik praktik dari keadilan itu sendiri sangatlah penting dalam resolusi konflik bahwa dalam sebuah usaha mencapai resolusi konflik kita haruslah netral dan tidak memihak, apapun alasannya.“Cara efektif itu tentu soal pendekatan transformatif, bagaimana pemerintah seharusnya memperhatikan keadilan. Itu sangat penting. Tidak berpihak faktor apapun alasannya. Nah itu saya kira disitu kebijakan-kebijakan harus terjadi di samping pengembangan pendidikan,” pungkas Elga.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto