Bertepatan dengan peringatan Hari Difabel internasional yang jatuh setiap 3 Desember, Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM menggelar sesi diskusi dalam webinar bertajuk “Layanan ULD dan Pengalaman Mahasiswa Disabilitas di Luar Negeri”, Selasa (3/12) lalu. Diikuti ratusan peserta dari berbagai institusi pendidikan dan masyarakat umum, webinar ini sukses meraih tujuannya untuk membagikan praktik baik mahasiswa disabilitas yang berkuliah di luar negeri agar menjadi inspirasi serta motivasi untuk meningkatkan inklusivitas.
Dalam acara ini, hadir empat pembicara penyandang disabilitas yang inspiratif. Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D. selaku dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM sekaligus ketua ULD menjadi pembicara pertama. Perempuan penyandang disabilitas fisik ini memaparkan tantangan dan peluang terhadap eksistensi ULD yang baru diresmikan pada tahun ini. Wuri memaparkan bahwa unit ini telah memberikan pelayanan pada penyandang difabel bahkan sejak awal sebelum mereka diterima menjadi mahasiswa dalam bentuk pendampingan saat ujian masuk. Layanan ULD juga meliputi hal-hal di luar akademik. Wuri memandang UGM sudah memiliki budaya inklusif yang telah mengakar dan lestari dengan menilik pada berhasilnya para mahasiswa difabel meraih kelulusan. “Kualitas mahasiswa tersebut tidak berbeda dengan mahasiswa nondifabel, mengikuti jalur yang sama dan mengikuti pembelajaran dengan baik hingga seluruhnya berhasil mengentaskan masa studinya,” ungkapnya.
Wuri menilai ULD memiliki kemampuan pengembangan yang terbuka lebar karena pimpinan universitas telah berkomitmen terhadap isu disabilitas dengan adanya konsep inklusif dalam rencana strategis UGM tahun 2022–2027. Akan tetapi, terdapat beberapa tantangan yang saat ini tengah diupayakan untuk dipecahkan. Salah satu di antaranya adalah kesadaran mahasiswa nondifabel terhadap penyandang disabilitas masih rendah. Selain itu, UGM belum memiliki infrastruktur yang ramah difabel di seluruh wilayah kampus dan sistem informasi terkait disabilitas serta layanan yang terintegrasi.
Berkaitan dengan mahasiswa disabilitas yang berkuliah di luar negeri, Alexander Farrel Rasendriya Haryono adalah salah satu yang mengenyam pendidikan di University of Leeds dengan konsentrasi Law and Social Justice. Lulusan Fakultas Hukum UGM ini mengaku tahap pendaftaran yang ia lakukan tidaklah rumit bagi penyandang disabilitas netra seperti dirinya, yakni cukup mengumpulkan berkas, tes IELTS, dan personal statement yang memuat alasan memilih universitas ini. Ia juga sangat terbantu dengan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang mengecualikan para difabel dalam tes bakat skolastik.“Kampus saya sangat proaktif terhadap difabel. Disana saya memiliki disability coordinator sehingga saya sangat terbantu dengan support darinya,” terangnya.
Selama perkuliahan, ia mendapat asisten pribadi yang membantu mobilisasinya dan seorang notetaker di setiap kelas yang siap siaga membantunya mencatat perkuliahan. Aspirasinya juga diwadahi dalam student pannel yang diselenggarakan tiap bulan untuk para penyandang disabilitas dan nondisabilitas. Perihal tantangan, Farrel mengalami masalah dengan adaptasi dan sistem pembelajaran yang berbeda. Akan tetapi, berbagai fasilitas dan tunjangan yang didapatnya dari kampus sangat membantunya, “Support dari keluarga, sesama orang Indonesia, dan disability services sangat memudahkan saya. Semoga UGM juga dapat menambahkan fasilitas serupa,” harapnya.
Luthfi Azizatunnisa, S.Ked. MPH. Ia adalah mahasiswa S-3 di London School of Hygiene and Tropical Medicine yang saat ini juga menjadi dosen di FK-KMK UGM. Ia mengambil konsentrasi Epidemiology and Population Health dan menjalani perkuliahannya menggunakan kursi roda. Walau memiliki keterbatasan, ia mendapat berbagai fasilitas penunjang di kampus pengembangan University of London ini. Beberapa di antaranya adalah dukungan kesehatan mental, layanan konseling, asrama khusus difabel, dukungan finansial khusus difabel, dan layanan karir.
Suatu hal yang menurutnya sangat menarik adalah adanya pelatihan Equality, Diversity, and Inclusion (EDI) bagi seluruh warga kampus. Selain itu, ia juga menyoroti adanya asesmen awal dan perjanjian belajar yang sudah lebih baik di kampusnya. Perjanjian belajar ini memuat keterangan kebutuhan Luthfi dan sudah melekat pada sistem informasi setiap kali ia mendaftar kelas pada awal pembelajaran. Dalam perjanjian belajar, ia menuliskan kelonggaran waktu ujian karena jari-jarinya lemah dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengetik. Selain itu, ia juga diberikan pengenalan gedung dan mitigasi bencana khusus untuk difabel. “Saya rasa ini dapat menjadi contoh bagi UGM agar terdapat dukungan serupa,” tuturnya.
Selanjutnya, pembicara terakhir dalam acara ini adalah seorang disabilitas tuna rungu yang berkuliah di Gallaudet University, Amerika Serikat. Ia bernama Phieter Angdika yang saat ini aktif menjadi guru bahasa isyarat setelah mengambil master of sign language education. Universitas ini adalah universitas satu-satunya di dunia yang dirancang khusus untuk komunitas tuli dan penyintas hard of hearing. Selain tuli, terdapat juga mahasiswa dengan disabilitas netra, daksa, low vision, study delay, gangguan kesehatan mental, dan autisme. Menurut Pieter, universitas tempatnya belajar ini dapat berkembang pesat karena mayoritas orang Amerika sangat inklusif. “Orang dengar tetap bisa masuk kampus ini karena nanti ada juru bahasa isyarat yang membantu,” ungkapnya.
Pieter mengaku mendapatkan beasiswa penuh mulai dari uang saku, transportasi antarnegara, dan biaya pendidikan hingga biaya wisuda. Menurutnya, kesempatan kerja di Amerika juga sangat bagus karena negara ini ramah tuli. Berbeda dengan di Indonesia yang lebih sulit bagi orang dengan disabilitas, ditambah lagi dengan batasan usia. Pieter bahkan tidak dapat mendaftar beasiswa dari Indonesia seperti LPDP karena dianggap belum ramah bagi tuli. Ia diharuskan melakukan wawancara serta tes listening dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan pendaftaran beasiswa Gallaudet ini yang dirasanya memudahkan penyandang tuli. Tahap pendaftarannya dimulai dari pengisian formulir dengan akses video bahasa isyarat, tes berisi bahasa isyarat, dan wawancara dengan bahasa isyarat. “Menurut saya, kita perlu mencontoh negara maju dan menghapuskan sistem linguistik yang tidak berpihak pada tuli,” tegasnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson