Gunung Lewotobi Laki-Laki Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, kembali kembali erupsi pada selasa pagi (10/12), pada pukul 06.07 WITA, dengan menyemburkan kolom abu vulkanik setinggi 2.000 meter di atas puncak. Pada awal November lalu, awal erupsi Gunung Lewotobi sempat menghasilkan kolom abu hingga 12 km.
Tim Peneliti Vulkanologi dari program studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik dan dan Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, menilai peristiwa bencana erupsi gunung api ini menjadi peringatan akan pentingnya penguatan sistem mitigasi bencana berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan edukasi publik yang lebih inklusif.
Guru Besar bidang Ilmu Vulkanologi pada Fakultas Teknik UGM, Prof. Dr. Ir. Agung Harijoko, S.T., M.Eng, IPM., menjelaskan tingginya kolom erupsi kali ini menjadi fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menurutnya biasanya tipe erupsi Gunung Lewotobi tergolong tipe Stromboli dengan kolom erupsi maksimal 2 km, kali ini mencapai hampir lima kali lipat. “Hal ini menunjukkan adanya dinamika baru dalam aktivitas vulkaniknya,” ujar Agung Harjoko, Selasa (3/12),
Selain ancaman langsung dari letusan, kata Harjoko, dampak tidak langsung berupa sebaran abu vulkanik menjadi masalah serius. Abu ini merusak tanaman, mengancam kesehatan masyarakat, serta mengganggu aktivitas ekonomi, termasuk penghentian sementara penerbangan di wilayah tersebut. “Kondisi ini menjadi tantangan besar, terutama dalam memastikan keselamatan masyarakat dan keberlangsungan aktivitas ekonomi di sekitar wilayah terdampak,” tambahnya.
Erupsi Gunung Lewotobi memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat di sekitar wilayah terdampak. Warga dalam radius aman telah dievakuasi, namun mereka masih menghadapi ancaman lain, seperti kerusakan rumah akibat tumpukan abu vulkanik yang berat, risiko kesehatan dari partikel abu halus, dan terganggunya pasokan bahan pangan akibat terganggunya transportasi. “Pemerintah perlu memperhatikan dampak ekonomi yang ditimbulkan, termasuk kerugian di sektor pertanian dan bisnis lokal. Penanganan harus mencakup pemulihan pasca-bencana, seperti bantuan ekonomi untuk petani dan pengusaha kecil yang terdampak,” ujar Agung.
Soal tindakan mitigasi bencana, ia menekankan pentingnya sistem monitoring gunung api yang lebih komprehensif untuk memberikan peringatan dini terhadap erupsi yang akurat. Ia menyebutkan di Yogyakarta, sistem monitoring Gunung Merapi sudah sangat lengkap, menggunakan seismometer untuk mendeteksi gempa vulkanik, geokimia untuk memantau gas vulkanik, serta analisis geologi untuk memahami komposisi magma. “Sistem seperti ini idealnya diterapkan di wilayah lain yang rawan gunung api,” ungkapnya.
Asisten profesor, Dr. Indranova Suhendro, S.T., M.Sc., menambahkan bahwa meski teknologi monitoring sudah berkembang, tantangan utama dalam upaya mitigasi ini tetap pada penyampaian informasi tersebut kepada masyarakat. Data ilmiah yang kompleks sering kali sulit dipahami masyarakat awam. Hal ini menimbulkan kesenjangan dalam penerapan langkah mitigasi di tingkat lokal. “Di jaman sekarang, perlu ada kolaborasi dengan untuk membuat konten informatif yang sederhana, seperti video pendek atau infografis interaktif, agar pesan mitigasi sampai kepada masyarakat luas,” tuturnya.
Selain itu, pendekatan berbasis komunitas juga dinilai penting. Ia menyarankan pemerintah dan lembaga terkait untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pelatihan mitigasi bencana. Ia juga merasa pelatihan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan juga penting untuk mereka dapat membaca peta kerentanan, mengenali tanda-tanda awal aktivitas vulkanik, serta langkah-langkah evakuasi yang aman. Dengan edukasi ini, masyarakat akan dapat lebih mandiri dalam menghadapi bencana.
Sementara pengamat Vulkanologi Fakutas, Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM, Dr. Ir. Haryo Edi Wibowo, S.T., M.Sc., menegaskan bahwa mitigasi bencana tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan kolaborasi erat dengan akademisi, media, dan masyarakat. Sinergi ini diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang tanggap bencana dan mampu bertahan di tengah ancaman geologis. “Dalam jangka panjang, pemerintah perlu memperkuat sistem mitigasi dengan pendekatan berbasis sains, teknologi, dan edukasi publik. Jika dilakukan dengan baik, langkah-langkah ini tidak hanya mengurangi risiko korban jiwa, tetapi juga meminimalkan dampak ekonomi dan sosial yang diakibatkan oleh erupsi gunung api,” pungkas Haryo.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara