Tuntutan pekerjaan dan dinamika rumah tangga membuat para perempuan yang bekerja rentan terhadap stres, sehingga diperlukan pendekatan inovatif seperti seni untuk membantu para Ibu dan calon ibu menemukan keseimbangan. Dian Sartika Sari, M.Psi., Psikolog dari Rumah Konsul Indonesia, mengatakan kondisi stres yang dialami seseorang merupakan hal yang wajar dan manusiawi, terutama ketika ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Tantangannya adalah bagaimana mengelola stres agar tidak menjadi distress yang merugikan, melainkan diubah menjadi eustress atau stres positif yang dapat memotivasi seseorang untuk berkembang.
Dian menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara stres (distress) dan eustress dalam kehidupan sehari-hari. Ia merekomendasikan alokasi waktu 60% untuk aktivitas produktif dan 40% untuk istirahat. “Istirahat ini tidak harus berupa tidur, tetapi juga bisa dengan melakukan kegiatan yang menyenangkan seperti olahraga, meditasi, atau menekuni hobi,” ujarnya dalam talkshow dan kegiatan melukis yang bertajuk “Release Stress with Art” di Ruang Makan Multimedia I, Kantor Pusat, UGM, Jumat (20/12).
Dalam penyampaian materinya, Dia secara khusus memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi ibu bekerja, termasuk bagaimana membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, serta memberikan strategi untuk menjalankan peran ganda secara seimbang dan sehat. Dian menekankan pentingnya dukungan sosial dan self-care bagi ibu bekerja. Ia memberikan tips praktis dalam parenting meskipun waktu bersama anak terbatas. “Ibu bekerja lebih mampu memanage waktu. Ketika di kantor, mereka fokus pada pekerjaan, sementara di rumah, perhatian mereka terpusat pada anak dan keluarga. Hal ini membuat pembagian waktu mereka menjadi lebih efektif,”
Berdasarkan penelitian, waktu yang dihabiskan antara ibu bekerja dan ibu tidak bekerja untuk keluarga sebenarnya relatif sama. Namun, masing-masing ibu memiliki cara berbeda dalam mengelola waktu dan menemukan kebahagiaan. “Ibu bekerja memang cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan ibu rumah tangga (IRT), tetapi kebahagiaan atau well-being mereka juga lebih baik,” katanya.
Soal kebahagiaan dan kualitas hidup yang lebih baik ini menurut Dian disebabkan karena ibu pekerja memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi diri, bertemu teman baru, dan mendapatkan dukungan sosial. “Perbedaannya terletak pada apa yang membuat masing-masing ibu merasa bahagia. Kebahagiaan inilah yang nantinya menentukan kesehatan mental keluarga secara keseluruhan,” tambahnya.
Setelah sesi materi, peserta kemudian diajak untuk mengikuti aktivitas seni melukis di kanvas. Setiap peserta diberikan kanvas dan alat lukis untuk berkreasi secara bebas. Melalui kegiatan ini, para ibu diberikan kesempatan untuk mengekspresikan emosi mereka, meredakan tekanan, dan membangun rasa harga diri melalui seni. Dian menjelaskan bahwa melukis adalah salah satu terapi yang efektif untuk membantu seseorang menjadi lebih mindful, mengenal diri sendiri, dan memperkuat kreativitas.
Menutup acara, Dian mengingatkan bahwa apapun pilihan seorang ibu, baik bekerja maupun tidak bekerja, keduanya adalah baik selama dapat membawa kebahagiaan. “Kebahagiaan ibu sangat berpengaruh pada kesehatan mental keluarga.Penting bagi setiap ibu untuk menjaga keseimbangan dan memberikan perhatian pada diri sendiri. Lakukan apa yang membuat Ibu-Ibu sekalian bahagia,” tutupnya.
Kegiatan yang digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu oleh Biro Pelayanan Kesehatan Terpadu Universitas Gadjah Mada (UGM) ini diikuti oleh pegawai UGM yang berstatus sebagai ibu atau calon ibu yang diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi para ibu yang bekerja di lingkungan UGM. Peserta diharapkan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai tantangan peran ganda yang mereka jalani serta cara mengelola stres secara sehat. Selain itu, melalui kegiatan seni, para ibu juga diharapkan merasa lebih tenang, dihargai, dan memiliki rasa kebersamaan yang lebih erat dengan rekan kerja mereka.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto