Beberapa kota di Indonesia saat ini tengah bersiap menghadapi The New Normal atau fase kehidupan baru setelah pandemi virus corona menghantam dunia. Dalam fase kehidupan baru atau new normal, masyarakat dituntut untuk bisa beradaptasi dengan kebiasaan baru yaitu mereka harus menerapkan protokol pencegahan penularan virus di setiap kegiatan yang melibatkan orang banyak.
Meski masih menjadi polemik, nampaknya Indonesia akan melakukan uji coba The New Normal atau fase kehidupan baru di tiga kota, yaitu Yogyakarta, Bali dan Kepulauan Riau sebagai wilayah uji coba. Beberapa pihak dan pengamat masih meragukan kesiapan ini, sebab hingga kini panduan terkait protokol kesehatan di era fase kehidupan baru belum ada.
Dr. Arie Setyaningrum, sosiolog UGM, mengatakan pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur pendukung terlebih dahulu sebelum menerapkan The New Normal. Selain itu, sangat penting juga terkait dengan kelengkapan protokol kesehatan dan materi sosialisasi pada masyarakat luas.
“Saya bukan ahli epidemiologi, tetapi sepakat dengan beberapa ahli epidemiologi bahwa yang pertama-tama harus disiapkan pemerintah pusat dan daerah adalah terus menjalankan pembatasan sosial dengan mengutamakan aspek infrastuktur kesehatan yang memadai. Sudahkah semua ini dikalkulasi?,” ujarnya di Fisipol UGM, Rabu (27/5).
Mengutip dari kolega sosiolog dari Nanyang Tech University, Prof. Sulfikar Amir, Ph.D., yang juga ahli soal Social Networks and Risk Society, ia sependapat bila infrastruktur kesehatan dan semacamnya menjadi prasyarat utama untuk melakukan new normal. Ini penting, sebab infrastruktur yang ada selama ini belum sepenuhnya menjangkau lapisan masyarakat, semisal seperti mass testing untuk Yogyakarta.
Pemerintah semestinya tetap harus konsisten menjalankan hal ini. Juga soal sosialisasi pada publik, bagaimana media literasi publik dapat menjangkau masyarakat luas harus disiasati oleh banyak stakeholders bukan hanya pemerintah.
“Termasuk di dalamnya juga jaringan masyarakat sipil secara luas,” terangnya.
Menurut Arie banyak pertanyaan penting untuk mengidentifikasi terkait sosialisasi The New Normal, misalnya protokol macam apa yang akan diterapkan, dimana saja, kapan dan kepada siapa saja. Artinya praktik-praktik new normal ini harus dilakukan dengan cara-cara apa saja, misalnya jika berkenaan dengan interaksi sosial seperti di lingkungan perdagangan, sebagai contoh pasar, mall, toko, restoran, pariwisata, lingkungan jasa seperti di sekolah, kampus dan lain-lain, atau bagaimana dengan di lingkungan industri.
Disamping itu, media apa yang akan dipergunakan untuk melakukan sosialisasi protokol kesehatan di masing-masing sektor aktivitas masyarakat. Ini juga menjadi hal penting karena tingkat kepercayaan masyarakat saat ini menjadi kunci bagi suksesnya pelaksanaan New Normal.
Ia menandaskan, jika memang akan diterapkan maka pemerintah mulai merangkul beragam stakeholders seperti jaringan masyarakat sipil dan organisasi masyarakat yang memiliki pengaruh kuat, misalnya Muhammadiyah dan NU. Oleh karena itu, mobilisasi sumber daya manusia menjadi penting, Gugus Tugas Covid-19 perlu mempertimbangkan merekrut relawan-relawan lain dalam menyosialisasikan praktik-praktik yang sesuai prosedur kesehatan dan keselamatan bersama dalam menjalankan new normal.
“Itu poin-poin yang saya sampaikan, dan kita tahu masyarakat bergerak cepat. Solidaritas dan inisiatif warga mengatasi dampak pandemik ini mestinya harus diapresiasi pula. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan beragam lapisan masyarakat lintas sektoral jika akan menjalankan prosedur new normal,” ucapnya.
Oleh karena itu, Arie berharap dalam membuat panduan terkait The New Normal seharusnya melibatkan masyarakat sipil yang sudah bergerak lebih cepat. Panduan bisa dibuat beragam bentuk dan sosialisasinya juga harus melibatkan ide dari mereka yang akan terdampak langsung.
Harapan-harapan ini penting apalagi saat ini tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menurun, terutama karena respons penanganan Covid-19 ini dinilai oleh publik banyak inkonsistensi. Artinya pemerintah harus bisa meyakinkan publik jika akan menerapkan The New Normal.
“Jika tidak, resistensi yang buruk bisa muncul. Hal itu tentu tidak diharapkan. Resistensi yang buruk seperti ditunjukkan dalam beberapa minggu menjelang Hari Raya misalnya, warga yang berkerumun diam-diam berbelanja di Toserba, dan Toserba pun ngakalin peraturan PSBB dan lain-lain. Bahkan, ada kepala desa di Buol Sulawesi yang dikeroyok warga desa karena melarang Shalat Ied di Masjid,” jelasnya.
Meskipun buruk respons pemerintah Indonesia dalam penanganan Covid-19, tetapi negara-negara lain dalam beberapa kasus penanganan kasus Covid-19 jauh lebih buruk, semisal di Brazil dan Amerika Serikat. Meski begitu, tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah terlanjur telah terjun payung dan itu fakta. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperbaiki kinerja khususnya pada layanan publik.
“Melihat respons pada suara-suara akar rumput, saya sangat prihatin dengan cara-cara pelibatan buzzer misalnya. Ini justru mencederai pemerintah dan bahkan mencederai demokrasi sekaligus melecehkan kita. Para buzzer-buzzer ini mestinya harus sudah move on dari polarisasi politik, sebab saat ini yang dihadapi soal keselamatan bangsa dan masa depan bersama. Sebaiknya pemerintah mengurangi pencitraan-pencitraan yang terlalu self centered, misalnya di media-media sosial milik pejabat-pejabat negara, sebaiknya menahan diri dan lebih baik memfungsikan kanal-kanal pengetahuan publik. Juga melibatkan kinerja intelektual dan kalangan akademik secara luas, saya kira itu jauh lebih efektif mengembalikan kepercayaan publik. Apalagi ditambah komunikasi pemerintah yang buruk akan memperumit pelaksaanaan new normal,” paparnya.
Arie mengakui terkait 3 Wilayah yaitu Yogyakarta, Bali dan Kepulauan Riau yang akan dijadikan pilot project The New Normal masih menjadi polemik. Sebab, alasan yang banyak mengemuka terkait pilihan ketiga wilayah tersebut lebih banyak karena aspek ekonomi.
Aspek ini, katanya, menjadi isu kritis di publik luas terutama terkait kesiapan jejaring pengaman. Banyak pihak merasa galau dan memunculkan pertanyaan prosedur macam apa yang akan diterapkan?
Arie merasa khawatir penggiringan opini publik bisa-bisa menjadi isu politis, dan ini tentu kurang baik bagi banyak pihak. Menurutnya, Indonesia mestinya bisa mencontoh Malaysia sehingga sebelum menerapkan The New Normal telah mempersiapkan jaringan pengaman terlebih dahulu.
“Kesan saya, kok kita ini seperti anak ayam kehilangan induk, disuruh meraba-rana sendiri. Yang perlu menjadi catatan kritis, Indonesia masih rendah skala mass testingnya, puskesmas belum dikerahkan secara optimal untuk mewajibkan setiap warga melakukan tes. Itu saja kita belum sepenuhnya siap padahal kita ini memiki solidaritas sosial yang sangat tinggi, dan itu jangan disia-siakan,” paparnya.
Secara khusus terhadap rencana DIY sebagai wilayah uji coba penerapan The New Normal, Arie memberi saran agar Pemerintah Provinsi DIY meningkatkan infrastruktur protokol kesehatan terlebih dahulu. Puskesmas-puskesmas harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan memulai membuka testing massal yang bisa dijangkau masyarakat luas.
Hal ini, ia kemukakan sebab Yogyakarta mengandalkan aktivitas ekonomi bukan pada sektor industri berat dan sumber daya alam, tetapi pada pariwisata dan jasa serta industri pendidikan. Untuk itu, perlu segera membuat panduan untuk praktik-praktik New Normal dengan melibatkan stakeholders terkait.
“Perlu melakukan mobilisasi solidaritas warga secara efektif lewat media-media dan komunitas-komunitas di akar rumput. Segera dan jika tidak maka hanya akan terjadi chaos, kacau nantinya bila tanpa persiapan dan tanpa kalkulasi risiko,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Merdeka.com