Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Prof. dr. Sofia Mubarika Haryana, M.Med.Sc., Ph.D., memimpin pembuatan inovasi uji diagnosis cepat (rapid diagnostic test/ RDT) untuk Covid-19 yang berbasis antibodi untuk mendeteksi IgM dan IgG yang diproduksi oleh tubuh untuk melawan Covid-19.
“Awalnya, saat muncul pandemi Covid-19 kami memang berpikir apa yang dapat kami lakukan untuk ikut membantu penanganan Covid-19. Kemudian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menginisiasi untuk melakukan inovasi riset mengenai Covid-19,” jelas Prof. Rika, Jumat (22/5).
BPPT mengundang dan mengajak beberapa peneliti Indonesia untuk bergabung melakukan riset dalam usaha penanganan Covid-19. Salah satu peneliti yang diundang adalah Prof. Rika dari FK-KMK UGM.
“Kebetulan penelitian saya sebelumnya adalah mengenai virus yang terkait dengan kanker, yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Saya juga mempelajari bidang imunologi dan biologi molekular sehingga saya bersedia bergabung,” ungkapnya.
Dalam perkembangannya, terdapat 6 bidang inovasi penelitian yang menjadi fokus BPPT, salah satunya rapid diagnostic test. Ia sendiri memiliki pengalaman membuat rapid diagnostic test untuk Epstein-Barr Virus (EBV) pada pasien dengan kanker nasofaring, dan kemudian memilih bergabung untuk melakukan inovasi penelitian rapid diagnostic test dengan menggandeng peneliti lain, yaitu Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K), ahli virologi sekaligus Guru Besar FK-KMK UGM, juga Prof. dr. Mulyanto, Alumni FK-KMK UGM yang juga seorang peneliti Laboratorium Hepatika Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain itu, juga bergabung Prof. Dr. drh. Fedik Abdul Rantam, ahli Virologi, dan Prof. Dr. dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Sp.KK(K)., Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya. Produk rapid diagnostic test ini diberi nama RI-GHA yang merupakan kepanjangan dari Republik Indonesia – Gadjah Mada – Hepatika – Airlangga.
Prof. Mulyanto menyusun formula untuk rapid diagnostic test Covid-19 berbekal pengalaman penelitian yang ia lakukan dalam pembuatan rapid test untuk penyakit hepatitis yang kini sudah digunakan di negeri Sakura Jepang. Proses pengujian menggunakan serum positif Covid-19 yang diperoleh dari Badan Litbangkes.
“Setelah hasil yang diperoleh positif, kemudian kami juga melakukan uji banding dengan produk komersial. Ternyata produk komersial yang beredar adalah total Immunoglobulin sehingga tidak spesifik, dan tidak seperti total IgM atau IgG yang kami kembangkan,” terang Rika terkait proses pengembangan rapid diagnostic test ini.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa dari 20 sampel dengan positif IgM, produk RI-GHA memperoleh 8 positif. Selanjutnya dibandingkan dengan merk komersial terbaik, didapatkan hasil 8 positif juga.
“Artinya sampel positif Covid-19 yang sebelumnya diuji dengan PCR hasilnya 20 ternyata yang menghasilkan antibodi baru 8 sampel, kemungkinan sisanya belum terbentuk antibodi,” ujarnya.
Dengan data awal uji banding ini, tim kemudian melakukan proses registrasi online dan proses izin edar. Menurutnya, dari keseluruhan produksi dengan jumlah 10.000 tes ini, sebanyak 4.000 tes akan diserahkan untuk uji validasi untuk mendapatkan seberapa tinggi akurasinya di masyarakat.
Uji validasi dilakukan UGM di RSUP Dr. Sardjito, Rumah Sakit Akademik UGM, RSUD Kota Yogyakarta, RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan RSUD Dr. Moewardi Solo, dengan dipimpin oleh Prof. Tri Wibawa. Selain itu, uji validasi juga dilakukan oleh Prof. Citra Rosita dan Prof. Fedik serta tim di RSUD Dr. Soetomo dan RS UNAIR.
Rapid Diagnostic Non-PCR ini, terang Rika, selain dapat digunakan untuk skrining, juga dapat digunakan untuk memonitor OTG, ODP, PDP, atau pasca infeksi. Selain biayanya yang murah, rapid diagnostic test ini memiliki kelebihan dapat deteksi cepat 5-10 menit, mudah, praktis, sensitivitas yang tinggi serta sangat spesifik. Rapid diagnostic Non-PCR ini dapat dilakukan dimana saja, seperti jalan, sekolah, pasar, stasiun, bandara, dan lainnya.
“Mudah-mudahan hasil uji validitas bagus dan akurasinya tinggi sehingga dapat digunakan untuk massive screening di masyarakat. Harapannya juga dapat dikirimkan ke pelosok-pelosok daerah, sehingga masyarakat dapat melakukannya secara mandiri, dengan sebelumnya dilatih cara penggunaannya melalui televisi nasional,” pungkasnya.
Penulis: Gloria