Presiden Prabowo Subianto menegaskan mengungkapkan ia telah meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk memangkas anggaran sebanyak 50 persen untuk perjalanan dinas luar negeri bagi kalangan pejabat. Sebaliknya, anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang bermanfaat untuk masyarakat. Menanggapi pernyataan tersebut, Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP., menilai bahwa kebijakan tersebut sulit direalisasikan. Pasalnya, dalam Kabinet Merah Putih 2024—2029, terdapat sebanyak 48 kementerian dan lima badan yang bernaung di bawahnya. Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah kementerian di Kabinet Indonesia Maju 2019—2024, yang hanya sejumlah 34 kementerian. Adanya kementerian baru dinilai tidak memungkinkan untuk diberlakukannya pemotongan anggaran perjalanan dinas. “Kabinet sekarang tidak mungkin akan lebih hemat daripada kabinet sebelumnya karena jumlah kementeriannya lebih besar dan kepentingan untuk membiayai jajaran birokrasi lebih banyak,” kata Dosen Fisipol UGM ini, Rabu (8/1).
Adanya 14 kementerian baru saat ini diakui Wahyudi membutuhkan anggaran yang lebih besar daripada sebelumnya. Terlebih lagi, beberapa kementerian lain membutuhkan dana yang lebih tinggi daripada yang telah dianggarkan. “Kita bisa melihat adanya kebutuhan membuat kantor, fasilitas, infrastruktur, dan pejabat baru yang menelan anggaran,” ungkap Wahyudi.
Dalam hal ini, Wahyudi menyinggung perihal pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai yang meminta rombak anggaran kementeriannya dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun. Selain itu, Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan meminta anggaran tambahan sebesar Rp505 miliar untuk mendukung programnya. “Bagaimana bisa kita menghemat sampai 50 persen?” tanyanya.
Meninjau Kembali Urgensi dan Relevansi
Sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, Wahyudi berpendapat bahwa rencana anggaran dapat ditinjau kembali relevansinya. Dalam tahap perencanaan, evaluasi dan monitoring sangat penting dilakukan untuk memastikan pos-pos anggaran yang tidak produktif. Penghematan dapat dilakukan dengan memangkas biaya-biaya yang tidak perlu, seperti kegiatan yang tidak relevan dengan tugas, pokok, dan fungsi setiap kementerian.
Misalnya, anggaran Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa 70 persen anggaran tidak digunakan untuk belanja modal, tetapi lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai. Anggaran yang ada dapat digunakan untuk pengadaan bibit akasia, trembesi, dan mangrove yang penting untuk konservasi lingkungan. Akan tetapi, dalam struktur anggaran, ternyata lebih banyak anggaran yang dihabiskan untuk sosialisasi, komunikasi teknis, seminar, dan sebagainya. “Pola itu harus diubah. Pastikan bahwa anggaran diprioritaskan untuk belanja modal,” ujar Wahyudi.
Sebaliknya, Wahyudi tidak menyarankan penerapan pemangkasan anggaran pada badan atau lembaga yang kinerjanya bergantung kepada perjalanan dinas. Misalnya, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas pada Kementerian Luar Negeri akan menurunkan kinerja diplomasi Indonesia. “Dampaknya terhadap kinerja pemerintah akan sangat besar,” ujar Wahyudi.
Ia menambahkan bahwa tidak semua sektor harus dipangkas anggarannya. Menurut Wahyudi, saat ini Indonesia memiliki peluang emas untuk loncat menjadi negara maju karena adanya bonus demografi. Sektor-sektor yang terkait dengan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial perlu mendapatkan alokasi anggaran lebih banyak. Namun, berdasarkan RAPBN 2025, anggaran dari sektor tersebut, seperti Kemendikbud Ristek dikurangi hingga Rp 15,7 triliun. Wahyudi menyayangkan kebijakan yang bertentangan dengan prioritas pemerintah tersebut. “Subsidi perguruan tinggi dikurangi sehingga PTN terpaksa harus menaikkan SPP. Kalau kita ingin menjadi negara maju, beri anak-anak pintar itu beasiswa agar mereka mendapatkan peluang lebih luas untuk belajar,” ujarnya.
Salah satu contoh kebijakan pemangkasan anggaran adalah realokasi anggaran saat pandemi COVID-19. Saat itu, pemerintah menerapkan refocusing anggaran di seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah. Perjalanan dinas yang tidak perlu dialih anggarkan untuk menangani COVID-19 dan memulihkan ekonomi. Perjalanan dinas digantikan dengan rapat daring, sedangkan stok oksigen, vitamin, dan obat-obatan diperbanyak.
Reformasi Birokrasi di Lingkup Pemerintahan
Perubahan dalam pemerintahan pusat akan berpengaruh sampai ke akarnya, yaitu pemerintahan daerah. Kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas sedikit banyak akan memengaruhi kinerja pegawai. Wahyudi berpendapat bahwa pemberlakuan kebijakan tersebut akan menjadi maksimal apabila sudah ada komitmen yang sangat kuat dari semua pejabat atau pegawai pemerintahan, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Hal itu tidak diungkapkan tanpa alasan. Selama ini, sangat sulit bagi pegawai negeri untuk diminta mengurangi dan menghemat anggaran perjalanan dinas tanpa mengurangi kinerja mereka.
Di kasus tersebut, pengurangan dana belanja untuk pegawai atau perjalanan dinas berimbas pada pengurangan kegiatan pegawai. Hal ini dikarenakan struktur tunjangan melekat pada kegiatan yang dikerjakan. Wahyudi khawatir, apabila pegawai diminta mengurangi perjalanan atau pengeluaran belanja untuk seminar dan sebagainya, pengurangan tersebut akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas kegiatan pemerintah.
Dalam penjelasannya, Wahyudi mengutip Gordon Tullock, salah satu ekonom Amerika, yang mengatakan bahwa pegawai organisasi publik memiliki kecenderungan menjadi budget maximizer. Berkebalikan dengan organisasi swasta, pegawai yang bisa menghemat akan mendapatkan insentif tambahan. Wahyudi menilai bahwa pegawai negeri cenderung memanfaatkan aset-aset negara selama tugas dan kinerjanya dinilai baik. “Pola atau mentalitas para birokrat seperti itu yang menjadi kendala. Tidak mungkin kita mengharapkan kinerjanya tetap sama, sementara insentif dan belanja perjalanan dinas dikurangi. Itu yang menjadi persoalan kita,” ungkap Wahyudi.
Wahyudi menilai bahwa penerapan kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas ini harus dibarengi dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi adalah upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Dalam konteks ini, Wahyudi menyinggung perihal reformasi birokrasi yang diberlakukan pada tahun 2008 oleh Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani. Pada saat itu, pemerintah memberi tambahan remunerasi tunjangan berupa Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) bagi pegawai negeri sipil (PNS). Sayangnya, penambahan tunjangan tersebut tidak dibersamai dengan target untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada publik.
Menurutnya, langkah pertama yang seharusnya diambil ialah mengaitkan antara indikator kinerja pegawai dengan tunjangan. Apabila catatan kinerja sudah memiliki indikator yang jelas dan dapat digunakan untuk memonitor kemampuan pegawai dalam melayani masyarakat, pegawai dengan kinerja yang tinggi diberi tambahan pendapatan. Begitu pula sebaliknya.
Wahyudi menyarankan bahwa pemangkasan anggaran perjalanan dinas betul-betul didasarkan pada penilaian yang objektif. Pemerintah harus memastikan bahwa pegawai memang melakukan kunjungan dinas sesuai dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tanpa memanipulasinya. Apabila masalah tersebut sudah diatasi, pemerintah dapat meninjau kembali efektivitas dari pelatihan dan kunjungan. Jika kunjungan tidak meningkatkan kinerja, maka ada baiknya anggaran tersebut dikurangi. “Kalau kita bisa memanfaatkan penilaian yang objektif untuk meningkatkan kinerja, saya kira ini akan sangat bagus,” pungkas Wahyudi.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kini.id