Salah satu program unggulan kabinet Presiden Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG), telah berjalan ke beberapa sekolah di daerah. Program ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan fungsi kognitif siswa jika diimbangi dengan pengolahan makanan yang mengandung menu gizi yang baik. Namun lebih dari itu, proses tata kelola pengadaan program ini menuntut transparansi dan akuntabilitas agar program ini tepat sasaran. Bukan menjadi proyek bancakan untuk korupsi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Pojok Bulaksumur yang bertajuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Tinjauan Perspektif Gizi, Kebijakan, dan Supply Chain Bahan Pangan, yang berlangsung di Selasar Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada (17/1). Diskusi yang diselenggarakan oleh Sekretariat Universitas ini menghadirkan tiga orang pakar dari UGM, yaitu Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol Prof. Wahyudi Kumorotomo, Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Prof. Subejo dan Dosen Departemen Gizi Kesehatan FK-KMK Dr. Toto Sudargo, M.Kes.
Toto Sudargo mengatakan program MBG berpotensi besar untuk meningkatkan kemampuan fungsi kognitif siswa jika dikelola dengan baik. Namun, hal ini juga perlu diimbangi dengan pengolahan gizi dari menu makanan. “Konsumsi makanan bergizi, seperti protein dari telur, sangat penting untuk mendukung perkembangan otak. Namun, penyajiannya juga harus diperhatikan agar anak-anak tertarik untuk mengkonsumsinya,” katanya.
Ia mencontohkan, menu telur yang diolah dengan baik, seperti dadar atau orak-arik, akan memberikan manfaat lebih karena tambahan kalorinya. Oleh karena itu ia menekankan kualitas gizi makanan lebih diutamakan daripada kuantitas makanan saja. “Yang penting anak-anak mau makan dan makanan tidak terbuang. Jangan sampai makanan hanya diacak-acak dan menjadi sampah,” ungkapnya.
Sementara Subejo menyoroti pentingnya memanfaatkan bahan pangan lokal dalam pelaksanaan program MBG. Ia menyebut ketergantungan pada bahan impor seperti gandum menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi. “Indonesia memiliki banyak sumber karbohidrat lokal seperti singkong, jagung, dan sagu. Jika bahan-bahan ini dimanfaatkan, kita tidak hanya mendukung ketahanan pangan tetapi juga memberdayakan petani lokal,” ujarnya.
Ia juga menyarankan pemberdayaan desa sebagai basis distribusi makanan bergizi. Menurutnya, jika desa diberi otoritas untuk mengelola dana dan menyusun menu berbasis bahan lokal, distribusi akan lebih efisien dan dekat dengan kebutuhan masyarakat setempat. “Mekanisme ini juga dapat mengurangi risiko makanan basi karena perjalanan distribusi yang terlalu jauh,” tambahnya.
Sedangkan Wahyudi Kumorotomo menyoroti soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana besar yang dialokasikan untuk program ini agar bisa tepat sasaran. Menurutnya, potensi terjadinya korupsi harus diantisipasi dengan pengawasan ketat oleh seluruh lapisan masyarakat. “Dana sebesar Rp71 triliun per tahun yang ditargetkan untuk 19,4 juta anak ini harus dipantau penggunaannya. Jangan sampai ada korupsi atau dana yang dialihkan untuk kepentingan lain,” paparnya.
Ketiga pakar UGM ini sepakat bahwa program MBG adalah investasi jangka panjang yang memerlukan komitmen berkelanjutan dari berbagai pihak. Toto mengingatkan bahwa keberhasilan program serupa di India ini baru terlihat setelah berjalan lebih dari satu dekade. “Program ini harus berjalan terus-menerus dan tidak boleh berhenti hanya karena berganti pemerintahan. Jika konsisten, Indonesia bisa mencapai hasil yang signifikan, baik dalam hal kesehatan, kemampuan, maupun prestasi generasi mendatang,” tegasnya.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam ini ditutup dengan harapan besar terhadap keberhasilan MBG. Para pakar mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mendukung dan mengawasi pelaksanaan program ini. “Ini adalah investasi untuk generasi masa depan. Jika program ini berhasil, Indonesia akan memiliki generasi yang lebih sehat, cerdas, dan siap bersaing di kancah global,” pungkas Dr. Toto.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie