Indonesia sekarang ini tengah menghadapi fenomena brain drain, yakni hengkangnya kaum intelektual, ilmuwan dan cendekiawan yang memilih menetap di luar negeri. Dari data yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, sejak tahun 2019 hingga 2022, terdapat 3.912 warga negara Indonesia (WNI) yang beralih menjadi warga negara Singapura. Sebagian besar warga yang pindah memiliki rentang usia produktif, yakni 25-35 tahun. Bahkan dari laporan peringkat human flights and brain index tahun 2024 yang dikeluarkan oleh The Global Economy, Indonesia saat ini berada pada peringkat ke-88 dari 175 negara.
Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna, menilai adanya fenomena Brain Drain di Indonesia sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Seperti contohnya pada tahun 1960-an banyak mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar negeri dan tidak kembali ke Indonesia. Mereka lebih memilih bekerja di luar negeri. “Adanya fenomena ini terus terjadi saat ini dimana banyak tenaga-tenaga terampil dan profesional Indonesia yang memilih berkarir di luar negeri daripada di Indonesia,” kata Hempri, Kamis (23/1).
Menurut Hampri, ribuan WNI yang memilih pindah ke Singapura dalam selama tiga tahun berturut-turut menegaskan Indonesia terancam kehilangan SDM yang berkualitas dan memiliki potensi. Selain itu, kondisi tersebut menunjukkan bahwa Singapura menjadi tempat yang lebih nyaman untuk karir.”Bisa dikatakan Singapura dianggap lebih baik sebagai tempat untuk berkarir dan mendapatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan,” ujarnya.
Soal banyaknya SDM usia produktif yang memilih pindah kewarganegaraan tersebut sangat disayangkan sebab usia produktif sebenarnya masih sangat dibutuhkan untuk mendorong pembangunan di Indonesia. “Selama ini anak-anak muda ini punya kemampuan potensial, kreativitas, dan inovasi yang lebih unggul. Hal ini tentunya sangat disayangkan ketika mereka harus pergi ke luar negeri. Indonesia tidak hanya kekurangan tenaga-tenaga terampil, tetapi ini dapat mengakibatkan munculnya ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia,” ujarnya.
Hempri menuturkan konsep link and match menjadi solusi untuk meminimalisir fenomena brain drain apalagi program ini sebenarnya sudah lama dikembangkan termasuk yang terakhir di era Menteri Nadiem Makarim kemarin dengan program Kampus Merdeka melalui beberapa program seperti magang, wirausaha, pertukaran mahasiswa, dan sebagainya. Model-model semacam ini sebenarnya cukup menarik agar di satu sisi mahasiswa juga siap masuk ke pasar kerja ketika sudah lulus. Namun demikian, memang banyak juga kendala dihadapi di lapangan. “Misalnya soal pendampingan pasca kegiatan dan sebagian mahasiswa mengikuti program-program tersebut yang seringkali lebih berorientasi pada mendapatkan nilai sehingga hal-hal yang dipelajari selama pelaksanaan kegiatan kurang berkembang dengan optimal,” paparnya.
Hempri juga mendesak agar pemerintah untuk segera membuat grand design pembangunan kependudukan akan menjadi semacam blue print di dalam penyusunan peta kebutuhan dan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki para lulusan dari Perguruan Tinggi. “Harapannya dengan adanya link and match antara pendidikan dengan pasar kerja diharapkan akan mampu meminimalkan anak-anak muda terampil untuk bekerja di luar negeri,” jelasnya.
Namun demikian, peta kebutuhan ini tidak akan cukup mengingat situasi pasar kerja yang dinamis. Bahkan selama proses rekrutmen tenaga kerja hanya mengandalkan sistem kekerabatan atau kekeluargaan ataupun lebih dikenal dengan istilah Ordal (orang dalam) maka program tersebut akan sia-sia belaka. “Kita lihat kondisi ini yang seringkali masih dominan di kita sehingga orang yang memiliki kompetensi baik belum tentu diterima di pasar kerja,” pungkasnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik