Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Pekalongan, Selasa (21/1) lalu, memakan korban yang cukup banyak, 22 orang meninggal dan 4 masih hilang. Saat ini pun masih berlangsung proses untuk pencarian korban yang belum ditemukan. Peristiwa ini terjadi setelah hujan deras yang melanda Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan, Jawa Tengah.
Penyebab utama dari kejadian tanah longsor ini adalah curah hujan dengan intensitas sangat tinggi. Mengacu pada data hujan dari satelit diperkiraan telah terjadi hujan beberapa hari sebelum kejadian longsor dengan intensitas hujan ada yang mencapai 93 mm/hari. Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa curah hujan 30 mm per hari atau 63 mm per tiga hari bisa memicu longsor di Pulau Jawa. Kondisi lingkungan juga memiliki kemungkinan berpengaruh terhadap kejadian longsor ini seperti perubahan fungsi lahan.
Dosen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr.Eng. Ir. Wahyu Wilopo S.T., M.Eng., IPM., mengatakan kejadian bencana longsor di Pekalongan ini ini mengingatkan semua pihak tentang pentingnya melakukan kegiatan mitigasi khususnya pada bencana yang dipicu oleh kondisi hidrometeorologi seperti longsor, banjir ataupun angin ribut yang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. “Jumlah dan dampaknya makin meningkat akibat dipicu adanya perubahan iklim global,” kata Wahyu, Jumat (24/1).
Soal penyebab kejadian longsor ini, diakui Wahyu Wilopo akibat lokasinya yang berada di kaki lereng juga dijumpai morfologi kipas kolovial (Sedimen lepas) dengan kemiringan lereng yang cukup terjal dan material yang agak lepas. “Batuan yang menyusun Petungkriyono adalah batuan vulkanik dan juga endapan hasil runtuhan pada masa lampau yang terdiri dari lempung sampai bongkah,” katanya.
Ia menjelaskan, struktur geologi di daerah ini ditemukan beberapa patahan baik patahan normal maupun geser. “Kondisi ini mempercepat proses pelapukan yang ada sehingga membentuk endapan tanah yang tebal pada beberapa tempat,” ungkapnya.
Bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor, Wahyu menyampaikan ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk menyelamatkan diri yaitu dengan mengenali dan memahami risiko yang ada disekitar baik untuk warga asli ataupun warga pendatang. Kemudian melakukan identifikasi daerah yang aman dan tidak terisolasi, jalur yang paling aman, dan terpendek menuju lokasi tersebut. “Apabila terjadi tanda-tanda longsor ataupun hujan tidak deras tetapi berlangsung cukup lama sebaiknya bisa melakukan evakuasi mandiri ke tempat yang aman dan apabila akan berteduh atau berhenti istirahat pilihlah tempat yang aman dari potensi kejadian longsor,” katanya.
Adapun tanda-tanda yang bisa dikenali masyarakat antara lain seperti terjadi retakan tanah, miringnya tiang atau pohon, serta struktur bangunan yang sudah tidak sempurna. Selain itu munculnya mata air yang mana airnya keruh pada kaki lereng, bahkan ada guguran tanah atau batuan di lereng. “Biasanya akan ada getaran serta gemuruh untuk longsor yang cukup besar,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya korban kejadian longsor ini, diakui Wahyu sudah banyak alat deteksi peringatan dini yang dikembangkan, salah satunya dari UGM yang sudah diimplementasikan di berbagai wilayah Indonesia. Sistem EWS ini juga sudah distandarkan menjadi SNI 8235:2017 tentang Sistem Peringatan Dini Gerakan Tanah dan ISO 22328-2:2024 Guidelines for the implementation of a community-based early warning system for landslides.
Yang tidak kalah penting, imbuhnya, pemerintah dan masyarakat juga mengikuti informasi dari BMKG yang secara rutin sudah menginfokan tentang prediksi curah hujan yang tinggi untuk beberapa wilayah di Indonesia sebagai peringatan bagi semua. Apalagi Badan Geologi juga sudah menginformasikan peta ancaman kejadian longsor tiap bulannya ke masing-masing daerah. Namun demikian tantangan yang ada adalah bagaimana menginformasikan peringatan tersebut dapat sampai pada semua warga yang berisiko terjadi longsor. “Saya kira bagaimana pemerintah daerah mampu merespon terhadap informasi tersebut dengan cepat, tepat dan dalam rentang waktu yang sesuai. perlu kerjasama yang baik antara pemerintah, masyarakat, swasta, media massa dan akademisi untuk mitigasi ini,” pungkasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kompas