Universitas Gadjah Mada mewisuda sebanyak 59 lulusan Program Doktor dari total 814 lulusan program pascasarjana, Kamis (23/1) lalu. Untuk program Doktor, rerata masa studi adalah 4 tahun 8 bulan, dengan 6 wisudawan memiliki IPK 4,00. Salah satu dari wisudawan yang meraih IPK sempurna tersebut adalah Yudi Sapta Pranoto (45), lulusan Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Gadjah Mada, berhasil menyelesaikan pendidikan dengan masa studi 3 tahun, 1 bulan, dan 14 hari.
Yudi mengaku bersyukur bisa menyelesaikan pendidikan S3 dengan prestasi akademik yang memuaskan. Bahkan ia tidak henti-hentinya bersyukur dan menyampaikan perasaan bahagianya. “Perasaan saya terharu, bahagia dan diiringi rasa syukur atas kemurahan-Nya saya dapat menyelesaikan studi tepat pada waktunya,” ujarnya, Jumat (31/1).
Lelaki yang juga berprofesi sebagai dosen di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan, Universitas Bangka Belitung ini pun turut membagikan perjuangannya sehingga bisa berkuliah di prodinya saat ini. Selama berkuliah di SPs UGM ia mendapatkan beasiswa pendidikan institusi dari Universitas Bangka Belitung untuk tahun kedua sampai selesai. Namun untuk mendapatkan hal tersebut tidaklah mudah, Yudi mengaku pada tahun 2021 ia sempat melamar Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) pada tahun 2021, namun gagal dikarenakan syarat usia pelamar yang tak boleh lebih dari 40 tahun. Karena Yudi sudah berusia 41 tahun, ia pun gagal meraih beasiswa. Namun kegagalan itu tidak menyurutkan semangatnya.
Berangkat dari kegagalannya tersebut, Yudi justru menjadi inisiator untuk mengajak teman-teman yang bernasib sama dengannya di program doktoral untuk membentuk grup Whatsapp, “Ikatan Studi Doktoral UGM”. Grup tersebut pun berhasil memperjuangkan nasibnya dan kawan-kawannya yang tak mendapatkan beasiswa. Bermacam usaha ia upayakan, termasuk membuat surat permohonan dukungan ke Rektor UGM untuk memperjuangkan nasibnya ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. “Sayangnya, hal tersebut tidak membuahkan tanggapan,” kenangnya.
Kemudian, dengan didasari oleh persamaan nasib kolektif, masalah tersebut pun menjadi masalah nasional. Banyak teman-teman studi doktoral dari kampus lain yang turut mengalami hal yang serupa, hal tersebut lah yang kemudian menjadi dasar dari perjuangan bersama teman-teman yang tengah menempuh studi doktoral di seluruh Indonesia. “Perjuangan dilalui dengan mengadakan audiensi dengan Komisi X, Bidang Pendidikan pada saat itu dan difasilitasi oleh Fraksi PKS di DPR RI. Singkat cerita, hasil pertemuan tersebut membuahkan hasil bahwa syarat BPI, terutama syarat usia maksimal bertambah menjadi 48 tahun,” ujarnya.
Yudi pun menambahkan bahwa selain dari syarat usia pelamar yang naik dari 40 tahun menjadi 48 tahun, persyaratan BPI pada tahun 2022 menyatakan bahwa beasiswa yang masih menjalankan perkuliahan dilaksanakan pada semester genap 2021/2022 sehingga mahasiswa yang sudah menjalankan perkuliahan di semester ganjil 2021 tidak dapat mendaftar BPI 2022, sehingga Yudi sekali lagi gagal untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Namun, menurutnya hal tersebut justru memberikannya hikmah bahwa tidak semua perjuangan itu dapat langsung dinikmati oleh diri sendiri, namun yang terpenting perjuangan tersebut dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, di tahun keduanya, pada semester ganjil dengan kebijakan Rektor Universitas Bangka Belitung di tahun 2022 memberikan bantuan tugas sampai dengan selesai, dapat meringankan biaya SPP-nya.
Kerja keras dan keteguhannya dalam membantu orang lain pun dicerminkan dalam disertasi yang dipilihnya dengan judul “Faktor Penentu Peran Penyuluh Pertanian dalam Penerapan Good Agricultural Practices Lada Putih Muntok White Pepper di Provinsi Bangka Belitung”. Yudi bercerita bahwa melalui disertasinya ini, ia menguraikan bagaimana peran penyuluh dan praktik Good Agricultural Practices oleh para petani.
Menurutnya, Provinsi Bangka Belitung memiliki komoditi rempah terbaik di dunia, yang dikenal dengan Lada Putih Muntok (Muntok white pepper). “Lada ini memiliki aroma yang khas dan peperin yg tinggi dibandingkan lada lainnya di dunia, dan sudah diusahakan sejak abad ke 18,” jelasnya dengan semangat.
Sayangnya, dalam perjalanannya lada ini mengalami pasang surut produksi sekaligus ekspor komoditi tersebut dengan trend yang semakin menurun. Hal ini dikarenakan adanya permasalahan yang kompleks salah satunya adalah teknologi yang diterapkan petani masih tradisional dan belum menerapkan standar budidaya lada yang baik dan benar atau Good Agricultural Practices (GAP). Ia menjelaskan bahwa permasalahan ini dipicu oleh rendahnya pengetahuan petani terhadap GAP tersebut dan peran penyuluh yang belum optimal.
Yudi pun bersyukur bahwa selama proses penulisan disertasinya, ia benar-benar dipermudah dan mendapat dukungan penuh dari promotor dan ko-promotor. Menurut penuturannya, mereka mudah ditemui dan terjadwal setiap pekannya.
Selanjutnya, ia pun berpesan kepada teman-teman yang juga sedang menempuh studi di UGM, untuk terus semangat dan jangan berputus asa. “Di setiap kesulitan akan ada kemudahan, dan jangan lupa untuk terus berprasangka baik kepada Tuhan dan mendoakan siapapun,” pesannya.
Selain memberikan pesan kepada teman-teman lain di UGM, Yudi pun mengharapkan bahwa UGM dapat terus menjadi kampus rakyat pelopor dalam pendidikan yang berbasis keilmuan dan pengabdian, serta mempertahankan tradisi akademik yang unggul dan memperkuat jaringan global. “Selama berkuliah di UGM, kita dilatih untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berintegritas. Nilai-nilai tersebut menjadi modal untuk mengabdi kepada masyarakat bangsa dan negara,” pungkasnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson