Universitas Gadjah Mada terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong partisipasi aktif Indonesia di kancah global melalui pencapaian dua alumninya, Gerry Utama dan Nugroho Imam Setiawan, yang berhasil menjelajah Antartika untuk melakukan misi penelitian internasional. Ditemui usai melakukan audiensi dengan kedua peneliti, Senin (3/2), Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D mengapresiasi capaian prestasi keduanya. Ia meyakini sepak terjang Nugroho dan Gerry akan menjadi motivasi bagi ilmuwan lain di Indonesia. Ova mengungkapkan keberhasilan kedua peneliti tersebut membuktikan bahwa Indonesia, khususnya UGM, memiliki kapasitas sumber daya manusia yang sama dengan negara-negara maju lainnya. Ova berjanji akan mendorong keterlibatan UGM dalam penelitian lanjutan maupun kebijakan-kebijakan terkait Antartika. “Penelitian kan, selalu bersifat dinamis ya. Saya kira akan ada kebutuhan, mungkin laboratorium atau Pusat Studi terkait Antartika yang bisa kita kembangkan karena ada potensi besar di bidang itu. Kalau bisa memberikan kontribusi yang berdampak positif untuk bangsa dan dunia, UGM akan dukung,” ujar Ova.
Terkait penandatanganan Sistem Traktat Antartika (Antarctic Treaty System) yang sudah dilakukan oleh 58 negara, Ova mengakui masih banyak perihal yang harus dikoordinasikan dengan pejabat pemerintahan Indonesia. Perjanjian Antartika menjadi salah satu instrumen penting bagi suatu negara untuk terlibat secara aktif dan berpartisipasi dalam eksplorasi Antartika secara masif. Meskipun Indonesia belum sama sekali menyatakan kesiapan untuk turut menadatangani Traktat Antartika, Ova menyatakan UGM selalu siap untuk mengawal proses tersebut. “Kami harus berbicara secara langsung dengan pemerintah, akan kami sampaikan good point-nya, lalu apa yang sudah UGM lakukan, selanjutnya apa yang perlu dipersiapkan,” jelas Rektor.
Ova menjelaskan komitmen UGM terhadap Traktat Antartika merupakan bagian dari upaya universitas untuk terus berkontribusi dalam penelitian global yang berdampak langsung pada keberlanjutan lingkungan dan perubahan iklim. Dengan memberikan dukungan pada partisipasi mahasiswa dan peneliti Indonesia dalam ekspedisi ilmiah internasional, UGM berperan penting dalam memperkuat posisi Indonesia dalam pengelolaan wilayah Antartika. “Kami ingin mengenalkan pentingnya Antartika sebagai kawasan yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh komunitas internasional,” tutupnya.
Gerry Utama, alumnus Fakultas Geografi UGM, menjadi orang Indonesia dan ASEAN pertama yang berpartisipasi dalam Russian Antarctica Expedition (RAE) pada Februari hingga Juli 2024 silam saat dirinya menempuh program Magister Paleogeografi di Saint Petersburg State University, Rusia. Selama ekspedisi tersebut, Gerry melakukan penelitian geomorfologi dan paleogeografi untuk merekonstruksi atlas baru wilayah Pulau King George, Rusia. Penelitian Gerry menjadi sangat penting dalam konteks perubahan iklim global yang tengah menjadi perhatian dunia saat ini. “Selain fosil kayu, saya juga memetakan keberadaan lumut dengan variasi warna. Ini menjadi indikator penting dalam memahami dinamika iklim global di Antartika dan juga dunia,” tegasnya.
Gerry (31) yang menjadi peneliti termuda di sepanjang sejarah misi Indonesia ke Antartika, menceritakan tiga hari setelah kapal landas, ia dan timnya menemukan iceberg dengan ukuran yang sangat besar. Jika direkonstruksi ulang, pelepasan iceberg yang lebih besar dari lapisan es juga mengindikasikan terjadinya pencairan es yang lebih cepat, yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem laut dan meningkatkan ancaman terhadap habitat pesisir manusia. “Indonesia seharusnya lebih aware dengan fenomena ini karena posisi kita sebagian besar lautan. Jadi agar bisa terlibat secara aktif dalam eksplorasi Antartika, penandatanganan Traktat Antartika harus segera diupayakan,” imbuhnya.
Dr. Nugroho Imam Setiawan (43), dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik, yang juga turut berpartisipasi dalam Japan Antarctic Research Expedition (JARE) pada 2016–2017 lalu ini, mengungkapkan selama ekspedisi tersebut, ia melakukan penelitian tentang evolusi benua Antartika dari studi petrologi batuan methanol berumur 2,5 miliar – 500 juta tahun. Dari misi Antartika, Nugroho berhasil merilis tujuh jurnal internasional yang tentunya bermanfaat bagi pengembangan studi geologi secara global. Tidak lupa, Nugroho juga membawa pulang sampel batuan dengan struktur sarang lebah atau honeycomb structure yang banyak ia temukan di Antartika yang sudah ia hibahkan ke Museum Biologi UGM dan Museum Geologi Bandung.
Geolog Indonesia pertama yang melakukan penelitian di Benua Antartika ini menjelaskan Antartika merupakan terra incognita atau daratan yang minim diketahui oleh manusia sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan pasti akan memberikan informasi yang cukup penting terutama pada studi kebumian. Sejalan dengan Gerry, Nugroho berharap agar pemerintah Indonesia data lebih peduli dengan fenomena alam yang terjadi di Antartika. “Kita harus ingat bahwa Indonesia dan Antartika itu sebenarnya tidak terpisah, kita share satu summit ground yang sama. Jadi saya pikir cukup penting bagi Indonesia untuk segera terlibat dalam isu strategis seperti geopolitik dan perubahan iklim untuk menyiapkan kemungkinan yang terjadi di masa depan,” tegasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Firsto