Rencana pemberian izin bagi perguruan tinggi mengelola tambang masih menuai penolakan. Perguruan tinggi disangsikan kemampuan dan kapasitasnya mengelola bisnis pertambangan.
Akbar Reza, dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada memandang rencana tersebut sebagai sesuatu yang ironi terhadap pelaksanaan SDGs dan Green Campus di banyak perguruan tinggi selama ini. Merespon terhadap rencana kebijakan tersebut menjadikan suasana kampus terpecah dalam dua kutub. “Secara umum, Forum Rektor Indonesia cenderung mendukung, sedangkan Majelis Dewan Guru Besar di beberapa kampus menolak”, ujarnya, Selasa (11/2).
Secara terbuka, kata Akbar, menyebutkan beberapa dosen secara sporadis menyatakan sikap untuk menolak maupun mendukung. Meski begitu belum ada konsolidasi kolektif yang menyeluruh. Dalam isu kampus dan legitimasi pertambangan ini, menurutnya, ada benturan antara kompetensi, moralitas, dan krisis identitas.
Bahkan narasi yang berkembang berbunyi Tambang untuk Kampus, sebagai kondisi ironis dengan narasi SDGs dan Green Campus yang belakangan ini digelorakan dan dicitrakan oleh sejumlah kampus. Banyak kampus berlomba masuk dalam peringkat kampus yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dan green metric. “Namun, jika kampus yang sama justru terlibat dalam industri ekstraktif yang merusak lingkungan, maka itu adalah sebuah ironi besar. Apalagi kampus diajak mendukung target Net Zero 2060,” katanya.
Terhadap rencana kebijakan ini, Akbar mengkhawatirkan bila akademisi di lingkungan kampus digunakan sebagai alat legitimasi moral dan intelektual bagi industri tambang. Sementara dalam kenyataan, pengelolaan tambang bukan hanya soal modal kapital tetapi ada sejumlah kompetensi teknis yang tidak dimiliki oleh seluruh akademisi.
Dalam diskusi yang digelar Bakul Pemimpi hadir para ahli pertambangan dan para akademisi. Dalam pembahasan mereka mencoba menelaah sejumlah tantangan dan risiko yang akan dihadapi perguruan tinggi bila dipaksa terjun ke bisnis tambang.
Di kesempatan terpisah, Zulfatun Mahmudah, Anggota Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Kutai Timur, memastikan kampus akan melakukan blunder besar bila nekad tetap ingin mengelola tambang. Dia mengungkapkan tiga alasan kampus sulit mengelola tambang dikarenakan minimnya kemampuan finansial, kapasitas operasional penambangan termasuk menghadapi tantangan persoalan sosial dan lingkungan.
Menurutnya, sektor pertambangan membutuhkan modal awal yang sangat besar untuk melakukan eksplorasi dan ekstraktif. Meliputi jaminan reklamasi yang harus disetor dalam waktu 30 hari setelah dokumen rencana reklamasi diserahkan. Pendanaan berikutnya untuk eksplorasi yang mencakup pemetaan lokasi, penentuan kualitas dan deposit batu bara, serta analisis dampak lingkungan yang juga membutuhkan dana besar.
Jika dua tahapan itu terpenuhi, tidak serta merta bisa segera menambang lalu meraup untung. Perusahaan tambang harus mengeluarkan biaya lagi untuk konstruksi yaitu pembangunan fasilitas pengolahan seperti crusher dan coal processing plant, pembuatan jalur pengangkutan (hauling road) yang bisa sangat mahal jika lokasi tambang jauh dari jalur distribusi.
“Biaya kontruksi ini termasuk pembangunan perkantoran dan perumahan karyawan karena tambang biasanya berada di daerah terpencil. Bisa dibayangkan, modal awal sebelum menambang sudah sangat mahal. ini belum menambang. Sebagai gambaran, PT Kaltim Prima Coal menghabiskan 570 juta USD dalam tahap konstruksi awalnya, atau sekitar 10 triliun rupiah dengan kurs saat ini,” kata Zulfatun.
Biaya besar berikutnya, menurutnya, untuk operasional dan keselamatan tambang. Meskipun menghasilkan keuntungan, perusahaan tambang harus mengeluarkan lagi biaya pajak dan royalti. “Kita harus tahu royalti ekspor lebih tinggi dibanding domestik. Ini belum termasuk sharing profit ke pusat dan daerah, bahkan wajib mengalokasikan duit untuk CSR dan tanggung jawab sosial”, ungkapnya.
Zulfatun menyebut hanya dua pilihan pendanaan yaitu melibatkan pihak ketiga. Artinya hal ini bisa dilakukan dengan memberikan hak konsesi ke investor, dan kampus menerima fee namun hilang kendali penuh atas tambang. Bisa pula kampus mencari pinjaman dana, yang berarti harus ada aset sebagai jaminan. “Pilihan pertama, berarti kampus menjadi broker. Atau pilihan kedua, ada risiko break-even point (BEP) dalam industri tambang sangat panjang, dan ada risiko kerugian akibat fluktuasi harga batu bara, misalnya,” katanya.
Selain itu, kampus juga berhadapan dengan risiko yang lain yaitu kehancuran reputasi. Kampus bisa dinilai tidak independen karena tersandera kepentingan bisnis. “Kampus akan kehilangan kredibilitas akademik akibat konflik kepentingan. Kampus bisa dianggap menyimpang dari tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan dan penelitian”, terangnya.
Zulfatun menyarankan, para pimpinan perguruan tinggi yang tergabung dalam forum rektor sebaiknya memperkuat perannya dalam riset, inovasi teknologi, atau pendidikan pertambangan yang berkelanjutan, bukan malah menjadi pelaku bisnis tambang itu sendiri.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Freepik