![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/deforestasi-825x464.jpg)
Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni, secara resmi telah mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) sejumlah 18 perusahaan pengelolaan hutan dengan luas area konsesi yang dicabut mencapai 526.144 hektar yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Pencabutan ini dilakukan dengan alasan bahwa para perusahaan pengelola tidak melestarikan hutan dengan baik.
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Ahmad Maryudi, mengaku dirinya tidak terlalu antusias dan berharap banyak dari adanya keputusan ini lantaran kejadian pencabutan PBPH bukanlah merupakan hal yang baru. Fenomena seperti ini, katanya, telah terjadi sejak tahun 1990-an di era kejayaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) karena terbukti tidak berkomitmen untuk mengelola hutan secara bertanggung jawab sehingga menimbulkan banyak kerusakan lingkungan, deforestasi dan degradasi hutan.
Maryudi tidak memungkiri bahwa masih banyak perusahaan yang terus berkomitmen dan bertahan untuk mengelola hutan dengan baik. Meski begitu, ia mengatakan, perusahaan yang telah dicabut izinnya memang berkarakter eksploitatif dan mengedepankan keuntungan sesaat. Namun ia mempertanyakan kejadian seperti ini kembali terjadi lagi dan tidak ada pemberian hukuman atau efek jera yang diberikan kepada para perusahaan yang tidak mengelola hutan dengan baik. Bahkan Maryudi menilai banyak perusahaan itu sebenarnya memang berharap agar izinnya dicabut. “Hal ini dikarenakan potensi hutan yang jauh menurun dan mereka ingin menghindari tanggung jawab yang lebih besar,” kata Maryudi, Selasa (11/2) di Kampus UGM.
Meski hukum dan regulasi sudah ada, efek jera yang ditimbulkan dari pencabutan izin atau sanksi lainnya dianggap masih terbatas. Maryudi menuturkan mekanisme pemberian izin juga patut dipertanyakan, karena seringkali tidak melibatkan evaluasi lingkungan yang memadai, seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL). “Masalahnya bukan soal dicabut atau tidak, tapi bagaimana izin itu diberikan. Banyak perusahaan yang belum memenuhi persyaratan, tetapi tetap mendapat izin. Bahkan di era desentralisasi, ada yang membeli izin,” ujarnya.
Dari kejadian yang sering berulang seperti ini, Maryudi menilai proyek-proyek seperti lahan gambut sejuta hektar dan food estate yang didesain untuk ketahanan pangan akan mengalami hal yang serupa. Sebab tujuan akhirnya adalah untuk membabat habis sumberdaya hutan. “Jika sekarang ada pencabutan izin di Papua, perlu diperiksa apakah kawasan-kawasan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk konversi atau untuk tujuan lain,” pungkas Prof. Maryudi.
Melalui keputusan pencabutan izin perusahaan pengelolaan hutan ini, Maryudi menegaskan, pemerintah tentu harus memiliki kebijakan yang jelas dan lebih selektif dalam memilih perusahaan, serta memastikan perusahaan yang mendapatkan izin benar-benar memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dan konservasi hutan, bukan sekadar mengeksploitasi untuk keuntungan jangka pendek.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Geotimes