![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Rimawan-e1739349514576-690x510.jpg)
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Pradiptyo, S.E., M.Sc., Ph.D., dikenal sebagai ekonom yang aktif menyuarakan isu anti korupsi. Kiprahnya dalam dunia akademik dan advokasi kebijakan telah memberikan kontribusi nyata tidak hanya bagi dunia pendidikan, tetapi juga dalam penanggulangan korupsi dan menjaga keutuhan konstitusi Indonesia. Penghargaan yang diberikan Majalah Tempo tahun 2024 lalu menilai Rimawan sebagai pribadi yang terus melakukan kritik terhadap penanganan kasus korupsi. Ia dinilai telah berkontribusi dalam mengembangkan metode perhitungan biaya sosial korupsi.
Seperti diketahui, Rimawan dikenal sebagai akademisi yang menggeluti bidang Ekonomika Kriminalitas sejak 2002 ketika masih menjadi peneliti di Inggris. Rimawan membangun database korupsi berdasarkan putusan pengadilan sejak 2009, dan saat ini telah sampai pada gelombang kelima database korupsi (2001-2018). Bahkan ia juga menginisiasi pembentukan konsentrasi MSc in Economics of Crime di FEB UGM sejak 2009. Ia berhasil mengembangkan metoda penghitungan biaya sosial korupsi sebagai penerjemahan dari kerugian perekonomian akibat korupsi. “Metode ini telah digunakan sebagai bahan pelatihan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2014. Metode ini juga telah adopsi oleh Kejaksaan Agung dalam proses penanganan kasus korupsi sejak tahun 2020”, ujarnya di FEB UGM, Rabu (12/2).
Ia menjelaskan metode penghitungan biaya sosial korupsi memberikan perspektif baru bahwa korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga perekonomian negara. Metode ini memberikan informasi kepada masyarakat terkait besar damages atau kerusakan yang terjadi di perekonomian akibat suatu korupsi. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah hukuman yang diberikan sudah mencerminkan upaya mengembalikan kerusakan yang terjadi di perekonomian tersebut? “Kadang putusan pengadilan sudah mengakui terjadinya kerugian perekonomian. Namun hukuman yang dijatuhkan belum mengakomodasi besarnya kerugian tersebut”, terangnya.
Sebagai pribadi yang supel, ia juga aktif dalam menjalin komunikasi dengan para akademisi, baik di internal UGM maupun lintas kampus. Di tahun 2011, ia menginisiasi gerakan Gemati (Gerakan Masyarakat Akademis untuk Transparansi Indonesia) dimana komunikasi pada saat itu masih menggunakan BBM (Blackberry Messenger). Enam tahun berikutnya, ia ikut aktif di gerakan UGM Berintegritas yang mampu mengumpulkan tandatangan lebih dari 1000 dosen UGM mendukung KPK dalam penanganan kasus E-KTP dan menolak Pansus Hak Angket KPK.
Meski menghadapi ancaman, Sikap Rimawan yang tegas terhadap revisi UU KPK di 2019 menunjukkan keberanian dalam memperjuangkan integritas institusi negara. Secara terus menerus, ia melakukan kritik yang konstruktif dan berbasis bukti dalam menjaga keutuhan konstitusi. Ia menginisiasi kemunculan sejumlah grup WhatsApp sebagai saluran komunikasi untuk membahas berbagai isu yang tengah berkembang di masyarakat.
Rimawan pun turut merasa resah dengan putusan Mahkamah Konstitusi, 16 Oktober 2023 yang mengubah syarat umur capres dan cawapres. Sebagai puncak keresahan, ia turut mendukung gerakan yang diinisiasi oleh Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Agus Wahyudi dalam melahirkan Petisi Bulaksumur di tanggal 31 Januari 2024. Gerakan ini sebagai bentuk pengingat bagi pemerintah yang dinilai telah menyimpang dari koridor etik dan demokrasi. Petisi inipun diikuti oleh petisi-petisi serupa oleh para akademisi di berbagai universitas di Indonesia. “Tentu kita masih ingat di tanggal 12 Maret 2024, Kampus Menggugat. Para akademisi dan alumni UGM mendeklarasikan diri di Balairung UGM. Kemudian dalam peringatan Hari Kartini, 21 April 2024, kembali ada gerakan Kampus Menggugat. Pernyataan sikap di Balairung UGM untuk menyerukan penegakkan nilai-nilai etika dalam berbangsa dan bernegara”, terangnya.
Rimawan pantang menyerah, ia terus menyoroti permasalahan pelanggaran konstitusi yang tidak lagi hanya berada pada level undang-undang, tetapi langsung menyentuh konstitusi sebagai roh dalam bernegara. Ia selalu mengingatkan bahwa konstitusi adalah landasan utama dan perubahan terhadapnya tidak boleh dilakukan secara serampangan hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir pihak. “Jika sebagai akademisi kita diam saat negara dalam kondisi genting, jangan-jangan ketika negara diinvasi negara lain pun kita tidak akan bergerak,” jelasnya.
Ia menandaskan soal peran penting akademisi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Amanah konstitusi yang berbunyi mencerdaskan kehidupan bangsa tidak berarti hanya membuat masyarakat pandai, tetapi juga berintegritas. “Akademisi boleh salah, tetapi harus tetap jujur. Posisi UGM sebagai universitas perjuangan harus terus melakukan reposisi, mengkritik kebijakan yang salah, dan mendukung kebijakan yang benar,” ungkapnya.
Tak lelah pula ia selalu mengingatkan pentingnya reformasi yang berkelanjutan. Ia mengajak para akademisi untuk terus memaparkan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dan menjadi garda terdepan dalam menjaga demokrasi. “Kritik adalah bagian dari demokrasi, dan akademisi memiliki tanggung jawab besar untuk menyuarakan kebenaran demi masa depan Indonesia yang lebih baik,” pungkasnya.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Penulis : Agung Nugroho