![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/3567-e1739409251751-813x510.jpg)
Agenda peningkatan ketahanan pangan mulai digencarkan oleh pemerintah dengan menurunkan ketergantungan terhadap produk impor. Tahun ini, pemerintah menghentikan impor untuk empat komoditas bahan pokok, yakni gula, garam, beras, dan jagung. Keputusan ini dinilai berisiko akan menyebabkan inflasi terhadap harga komoditas tersebut, khususnya gula. Sebelumnya, angka impor gula mencapai 3,5 juta ton/tahun yang melebihi impor beras sebesar 3 juta ton/tahun.
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Prof. Subejo, S.P., M.Sc., mengatakan ada resiko instabilitas harga dan ancaman krisis pangan jika langkah penghentian impor tidak dibarengi dengan peningkatan kapasitas produksi nasional. “Resiko krisis pangan karena kegagalan panen akibat perubahan iklim, bencana, pandemi dan hambatan perdagangan global harus menjadi perhatian yang sangat serius untuk meningkatkan kapasitas produksi nasional yang berkelanjutan,” tutur Subejo, Kamis (13/2).
Pada tahun 2023, menurut Subejo, pemerintah sebenarnya telah menurunkan kuota impor gula sebesar satu juta ton. Harga gula di pasaran saat itu langsung melonjak naik akibat kelangkaan dan menurunnya hasil produksi lokal. Kemudian di tahun ini, pemerintah kembali mengurangi kuota Gula Kristal Putih (GKR) atau rafinasi untuk industri hingga 3,4 juta ton dan menghentikan total impor gula konsumsi. Seharusnya menurut Subejo, penghentian impor gula ini harus diikuti dengan peningkatan kemampuan produksi lokal. Pasalnya jika tidak segera ditingkatkan, dikhawatirkan inflasi kembali terjadi melebihi rata-rata menjelang bulan puasa mendatang. “Ide untuk pencapaian ketahanan pangan bahkan swasembada pangan adalah hal fundamental dan perlu diapresiasi namun perlu dilakukan dengan langkah yang tepat,” tutur Subejo.
Menurutnya, peningkatan kapasitas produksi lokal perlu dilakukan bertahap dan terintegrasi. Jika pengurangan impor ditargetkan sebesar 50%, maka kapasitas produksi harus ditingkatkan sebesar 10%. Kemudian bisa dilanjutkan secara bertahap dalam tiga sampai empat tahun ke depan. “Ketika produksi nasional bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri sepenuhnya, baru bisa dikatakan swasembada pangan,” terangnya.
Untuk meningkatkan kapasitas produksi lokal, katanya, tantangan terbesar pada dampak perubahan iklim masih menghantui produsen tebu. Ancaman tersebut tidak hanya akan membuat hasil panen anjlok, namun juga menjadikan petani enggan menanam tebu. Oleh karena itu, Pemerintah perlu berupaya menjamin harga dari petani sampai ke konsumen agar tidak terlalu melonjak ataupun menurun. Saat ini, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menetapkan harga produsen sebesar Rp14.500 per kilogram dan Rp17.500-18.500 harga konsumen.
Selain persoalan perubahan iklim, Subejo menyebutkan upaya untuk memanfaatkan lahan kering untuk penanaman tebu. “Indonesia memiliki lahan kering yang cukup besar yang belum dimanfaatkan secara optimal, perlu dicarikan inovasi yang sesuai sehingga dapat dikembangkan tebu lahan kering,” jelasnya.
Selain itu, diperlukan pengembangan sistem perkebunan tebu yang mampu meningkatkan produktivitas. Kedua langkah strategis tersebut dapat dijalankan melalui dorongan riset dan inovasi teknologi. “Dukungan tata kelola dan kelembagaan yang baik serta peningkatan kapasitas SDM yang mencakup petani tebu maupun pendampingan petani juga penting,” tambah Subejo.
Sedangkan untuk mengendalikan harga pasar, Badan Urusan Logistik (BULOG) sebagai institusi yang mengatur pangan nasional harus melakukan perbaikan sistem rantai pasok dari produsen ke konsumen pada produk pangan pokok bisa dimaksimalkan dengan memperketat stabilitas harga.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik