![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/BPJS-Kesehatan.jpeg)
Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin, berencana akan menaikkan iuran BPJS namun besaran yang belum ditentukan. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini menurutnya mengacu pada Undang – Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan kenaikan iuran akan terjadi secara berkala. Mengingat total tunggakan peserta JKN per Desember 2024 mencapai Rp 21,48 triliun. Sementara asuransi BPJS Kesehatan sangat bergantung terhadap iuran dari peserta.
Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Dr. Mulyadi Sumarto, menyebutkan bahwa kenaikan iuran BPJS sudah sewajarnya terjadi. Hal tersebut terjadi karena pertimbangan inflasi, tingkat pendapatan masyarakat yang meningkat dan yang paling utama adalah menjaga keberlanjutan program. “Bukan saja dinaikkan tapi dipertimbangkan ulang secara berkala,” ungkapnya, Kamis (13/2), di Kampus UGM.
Disisi lain kenaikan iuran BPJS tentunya juga akan sangat dirasakan oleh masyarakat terutama peserta mandiri. Dalam hal ini Ia menyebutkan bahwa dari sisi warga negara hal ini merupakan hal yang cukup mengejutkan. Pada situasi ekonomi negara yang saat ini dalam kondisi yang penuh dengan dinamika, keputusan ini dianggap sebagai jalan terakhir pemerintah untuk memastikan bahwa program ini tetap sustain. “Terlebih lagi masih belum jelas mengenai penggolongan masyarakat yang menjadi peserta mandiri BPJS yang menyebabkan analisis kemampuan masyarakat yang kurang tepat,” ujarnya.
Seperti diketahui, terdapat dua golongan utama kepesertaan BPJS, yaitu Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-PBI). Diantara kedua golongan tersebut terdapat sejumlah masyarakat yang terletak di area abu-abu yang mana posisinya terletak diantara garis batas antara kelompok miskin dan menengah. “Dapat disebutkan kelompok tersebut tidak jauh berbeda dengan kelompok miskin,” jelasnya.
Meski hingga saat ini belum ada kepastian berapa besar kenaikan yang akan diterapkan pemerintah. Mulyadi memperkirakan ada dua kemungkinan yang akan dilakukan oleh pemerintah, melakukan pemotongan subsidi atau pun pemberian subsidi yang tetap akan tetapi jumlah iuran yang akan dinaikkan. Namun melihat kondisi akhir-akhir ini pemerintah tengah memangkas besar-besaran anggaran untuk kementerian dan lembaga. Mulyadi menyebutkan, apabila asumsi dalam satu keluarga terdapat tiga hingga empat anggota keluarga dan menggunakan kelas III dengan iuran sebesar Rp 35.000 per orang maka dalam satu bulan besaran iuran yang harus dibayarkan kurang lebih Rp 140.000. “Bagi masyarakat miskin menebus raskin dengan harga Rp 22.500 saja banyak yang tidak mampu menebus. Hanya 40% masyarakat yang mampu membeli,” ungkapnya.
Mengacu pada data tersebut berarti masyarakat yang terletak pada posisi abu-abu ini yang mana dapat dikatakan kemampuan ekonominya hampir sama dengan golongan miskin akan sangat terbebani dengan adanya kenaikan iuran.
Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, kata Mulyadi, pemerintah sebenarnya telah melakukan berbagai upaya salah satunya seperti program Rencana Pembayaran Bertahap (REHAB). Akan tetapi masalah utama disini adalah ketidakmampuan membayarkan iuran. Meskipun dapat dicicil, jika kondisi peserta tidak mampu membayar maka program ini pun rasanya tidak menyelesaikan permasalahan. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman masyarakat mengenai prioritas ini agaknya juga mempengaruhi ketertiban untuk membayarkan iuran. “Pemahaman masyarakat bisa jadi tidak cukup, akan tetapi belum tentu kesalahan warga negara,” imbuhnya.
Menurutnya, pemahaman masyarakat mengenai hal ini akan beriringan dengan kondisi ekonomi. Membayar iuran merupakan kewajiban warga negara, akan tetapi kemampuan untuk membayar iuran inilah yang lagi-lagi perlu dikaji. “Saya kira masyarakat tentu saja akan memprioritaskan kebutuhan pokok di luar asuransi,” sebutnya.
Menghadapi persoalan tunggakan peserta JKN ini dalam jangka panjang, menurut Mulyadi, pemerintah perlu meninjau ulang berbagai sektor mulai dari struktur penganggaran, perilaku politik, dan yang paling penting adalah kehati-hatian menggunakan anggaran. Ia juga menambahkan pemahaman mengenai kelompok rentan ini perlu dievaluasi dan yang lebih penting juga dimengerti bahwa kelompok rentan ini wajib dilindungi oleh pemerintah. “Cek lagi menyeluruh dan pemerintah tidak seharusnya memaksa kelompok abu-abu ini untuk membayar, apabila dipaksakan juga tidak akan selesai,”pungkasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : BPJS Kesehatan