Agenda pengurangan emisi karbon menjadi salah satu langkah strategis dalam upaya mitigasi penanganan dampak perubahan iklim. Berbagai upaya dilakukan, termasuk pemanfaatan bambu sebagai bahan baku industri. Pasalnya, bambu mampu menyerap 17 ton karbon/hektar emisi karbon per tahun dan menghasilkan oksigen 35% lebih banyak dibanding pepohonan dengan luas yang sama. Potensi ini dinilai sangat menjanjikan untuk digunakan dalam industri.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed.,Sp.OG(K)., Ph.D., mengatakan Indonesia memiliki peluang yang besar mendorong Nationally Determined Contribution (NDC) jika memanfaatkan potensi tanaman bambu dengan bijak. “Penelitian menunjukkan bahwa bambu memiliki daya serap karbon yang tinggi, berkisar antara 16 hingga 128 ton karbon per hektar. Jika dikelola dengan baik, bisa mendorong pengurangan emisi hingga 35%,” tutur Ova dalam “Workshop Sustainable Future Leader: Enhancing Indonesian Restorative Economy” yang diinisiasi Biro Manajemen Strategis UGM dengan Yayasan Bambu Lingkungan Lestari yang berlangsung di ruang Multimedia Gedung Pusat UGM, Kamis (13/2).
Menurut Ova, melihat potensi besar menyerap karbon, bambu kini banyak diminati oleh pasar global dengan produksi mencapai USD 3 miliar di negara-negara Asia Pasifik. Ova menambahkan, perlu ada upaya inovasi dan teknologi untuk mendorong produksi bambu jika ingin dijadikan sebagai komoditas ekspor.
Penasehat Presiden Bidang Ekonomi, Prof. Bambang Brodjonegoro, menyampaikan gambaran bagaimana perubahan iklim mempengaruhi hampir seluruh sektor, khususnya ketahanan pangan. Dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, hingga cuaca tidak menentu membuat produktivitas bahan pangan pokok menurun. Bahkan diperkirakan pada tahun 2050 sebanyak 12 juta orang di dunia berpotensi mengalami kelaparan. “Kita harapkan tidak ada upaya untuk menyangkal perubahan iklim. Kita memiliki agenda ketahanan pangan sejak lama, namun dengan kondisi seperti ini saja masih ada potensi food crisis,” ucap Bambang.
Ia menyoroti aksi Amerika yang akan resmi keluar dari Paris Agreement pada tahun 2026. Harapannya, negara tetap fokus berkomitmen menangani krisis iklim di tengah kondisi sosio-politik global saat ini.
Bambang menambahkan, dalam mencapai target NDC 2030 dibutuhkan lebih banyak aksi iklim di berbagai sektor. Menurut Bambang, bambu bisa menjadi salah satu alternatif pemanfaatan bahan baku menyerap karbon. Meskipun begitu, potensi tersebut tidak serta merta menjadikan bambu sebagai komoditas utama yang dijadikan tulang punggung ekonomi dan industri. “Tetap diperlukan upaya budidaya komoditas lain melalui inovasi dan teknologi untuk menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi sumber daya alam,” katanya.
Chairperson Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL), Monica Tanuhandaru, mengatakan pihaknya tengah mengembangkan budidaya bambu agroekologi berbasis desa dinilai merupakan salah satu model ekonomi restoratif yang paling tepat untuk Indonesia. Selain karena kekayaan sumberdaya bambu Indonesia yang memiliki 176 spesies bambu, 105 diantaranya endemik serta memiliki kedekatan kultural dengan masyarakat. “Bambu sangat efektif dalam menangani masalah-masalah lingkungan seperti lahan kritis dan degradasi sumber air,” ujarnya.
Monica menyebutkan, untuk satu rumpun bambu mampu menyimpan hingga 3.600 liter air atau setara 189 galon air mineral di setiap musim hujan. Bahkan satu rumpun bambu juga mampu menyerap 3.3 ton CO2 eq. karbon per tahun, mampu menstabilkan lahan miring, dan mampu tumbuh di lahan kritis.“Bambu juga dapat dipanen secara lestari tanpa mengurangi manfaat lingkungannya. Industri global kini melirik bambu sebagai material ramah lingkungan, rendah karbon dan berkelanjutan. Indonesia berpeluang menjadi pemain kunci dalam industri masa depan ini,” ujar
Selama empat tahun terakhir, kata Monica, YBLL telah mengembangkan Bambu Agroekologi bersama masyarakat di 287 desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Program ini telah menghasilkan 3,6 juta bibit bambu, di mana 2,2 juta di antaranya telah ditanam di lahan kritis, daerah sumber air, serta hutan adat. Satu Rumah Produksi Bersama (RPB) Bambu juga telah beroperasi, menghasilkan produk-produk bambu modern, termasuk bambu laminasi.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto